BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah kemiskinan merupakan persoalan yang
dihadapi seluruh daerah perkotaan di Indonesia yang hingga kini belum mampu
ditanggulangi. Ketidakmampuan setiap pemerintah kota di Indonesia dalam
menanggulangi masalah kemiskinan ini, disebabkan karena strategi penanggulangan
kemiskinan yang ditawarkan belum mampu menjawab atau menyentuh akar persoalan
kemiskinan itu.
Kemiskinan adalah salah satu masalah sosial (social
problem) yang amat serius dan tumbuh disetiap dimensi serta
sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Tak terkecuali di kota Makassar, masalah
kemiskinan masih dapat dijumpai utamanya pada komunitas marginal kota yang
dalam hal ini adalah komunitas nelayan.
Menanggapi persoalan kemiskinan yang belum
terselesaikan, pemerintah kota sendiri telah mencanangkan di dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 dan Rencana Kerja Pemerintah
(RKP) tahun 2008, dengan memberikan harapan yang besar dalam perbaikan kondisi
kehidupan bermasyarakat. Dalam RPJM disebutkan bahwa, kemiskinan tidak lagi
dipahami sebatas ketidakmampuan ekonomi tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak
dasar dan adanya perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam
menjalani kehidupan secara bermartabat. Salah satu hak dasar yang dimaksud
adalah jaminan rasa aman serta partisipasi masyarakat (miskin) dalam perumusan
dan pelaksanaan kebijakan pembangunan. (www.pemkotmakassar.go.id).
Selanjutnya, dalam RKP tahun 2008 dinyatakan
bahwa, kebijakan pemerintah lebih diarahkan pada upaya pemantapan dan
pengembangan berbagai regulasi dan program yang memiliki dampak luas terhadap
penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak dasar masyarakat miskin. Sebagai
salah satu implementasinya, kebijakan penanggulangan kemiskinan difokuskan pada
perwujudan keadilan dan kesetaraan gender serta pengembangan wilayah melalui
percepatan pembangunan perkotaan, dan percepatan pembangunan kawasan pesisir.
Berkaitan dengan hal di atas, penggalakan
program dari pemerintah kota Makassar dalam menanggulangi masalah kemiskinan
terus dilaksanakan, seperti pemberian bantuan kucuran dana bergulir, bantuan
beras miskin, subsidi BBM serta program pemberdayaan masyarakat miskin wilayah
perkotaan. Namun, berbagai program dari pemerintah
tersebut, ternyata belum juga mampu mengangkat masyarakat miskin dari garis
kemiskinan dan tak terkecuali komunitas nelayan miskin di kota Makassar.
Komunitas nelayan merupakan
salah satu dari sekian komunitas di kota Makassar yang teridentifikasi sebagai
golongan miskin. Komunitas nelayan tersebut, bermukim di kelurahan Lette yang
terintegrasi ke dalam wilayah administratif kecamatan Mariso kota Makassar.
Hasil pendataan yang
dilakukan oleh pemerintah kota Makassar, menyebutkan bahwa
jumlah warga miskin terbanyak ke dua ada di kecamatan Mariso, setelah kecamatan
Ujung Tanah yang menempati urutan pertama. Adapun jumlah penduduk miskin atau
dikategorikan sebagai keluarga belum sejahtera di kecamatan Mariso sebanyak 4.690 KK.
Terkhusus untuk kelurahan Lette kecamatan Mariso, jumlah penduduk miskin
sebesar 775 KK dan sebagian besar diantaranya bermata pencaharian sebagai
nelayan (Fajar, edisi 27 November 2010).
Melimpahnya potensi hayati
yang dikandung oleh laut di sekitar tempat komunitas nelayan bermukim,
seyogyanya dapat menjadi suatu asset besar bagi nelayan setempat dalam upaya
memperbaiki taraf hidup mereka secara ekonomi. Namun, kenyataannya sampai saat
ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam ketidakmampuan secara
finansial dan belum sejahtera. Sehubungan dengan itu, komunitas nelayan bisa
miskin bukan karena kesalahan nelayan itu sendiri misalnya mereka malas
bekerja, tetapi lebih disebabkan oleh adanya sebuah struktur yang timpang
kemudian dilegitimasi dengan suatu peraturan, sehingga membuat para nelayan
tetap berada pada kubangan kemiskinan secara struktural.
Kenyataan di atas, sesuai
dengan hasil observasi awal yang terlihat, dimana pada pagi hari dapat
ditemui pada nelayan yang telah giat bekerja untuk turun ke laut guna menangkap
ikan. Selain itu, ada pula diantara mereka yang mengangkut hasil tangkapannya
dengan memakai sepeda menuju tempat pelelangan ikan untuk memasarkan langsung.
Kondisi ini menujukkan bahwa, ada satu struktur atau sistem yang membuat sekian
banyak nelayan menjadi terpinggirkan secara ekonomi.
Disamping itu, nelayan
seringkali dijadikan objek eksploitatif oleh para pemilik modal. Misalnya,
ketika harga ikan yang merupakan sumber pendapatan mereka, dikendalikan oleh
para pemilik modal atau para pedagang/tengkulak. Hal ini, tentu saja dapat
membuat distribusi pendapatan menjadi tidak merata dimana dengan adanya
permainan harga, nelayan mendapatkan income yang rendah atau berada pada
posisi yang dirugikan sedangkan para pemilik modal, dapat meraup keuntungan
yang besar dari adanya tindakan spekulasi harga. Demikian halnya dengan gejala
modernisasi perikanan yang juga tidak banyak dapat membantu, bahkan sebaliknya
membuat nelayan utamanya nelayan tradisional menjadi semakin terpinggirkan,
seperti pada saat munculnya kapal tangkap yang berukuran besar dan berteknologi
modern (motorisasi) yang mampu menangkap ikan lebih banyak. Penggunaan kapal
besar yang berteknologi modern oleh pemilik modal sudah barang tentu dapat
menghasilkan tangkapan ikan yang lebih besar bila dibandingkan dengan nelayan
tradisional yang hanya menggunakan teknologi tradisional.
Tak bisa dipungkiri, bahwa
citra nelayan utamanya nelayan kecil/tradisional masih sangat identik dengan
kemiskinan. Nelayan bahkan disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok
masyarakat lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Haeruman (dalam Fachruddin, 2005) yang mengatakan bahwa kelompok nelayan
merupakan golongan yang paling miskin di Indonesia. Lebih lanjut, Winahyu dan
Santiasih (dalam Kusnadi, 2000) mempertegas bahwa dibandingkan dengan sektor
pertanian sekalipun, nelayan, khususnya nelayan buruh dan kecil atau nelayan
tradisional, dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin.
Kemiskinan yang dialami
oleh komunitas nelayan di kelurahan Lette, sesungguhnya juga tak lepas dari
pengaruh atau budaya yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Terlepas dari
sadar atau pun tidak sadar, budaya atau kebiasaan hidup seperti sikap malas dan
pasrah terhadap nasib telah menjadi bagian dari mentalitas, sehingga secara
psikologis, individu dari komunitas nelayan akhirnya merasa kurang bahkan tidak
memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi sebagai upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya.
Akibat dari sikap hidup di
atas, pada akhirnya menyebabkan tingkat pendapatan dari seorang nelayan tidak
menentu bahkan terkadang nihil, sehingga pada saat tingkat pendapatan dari
nelayan rendah, maka sangat logis bila tingkat pendidikan anak-anaknya pun
rendah. Tidak sedikit anak nelayan yang harus berhenti sebelum lulus sekolah
dasar atau tidak melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi.
Umumnya mereka disuruh bekerja untuk membantu orang tua dalam mencari nafkah
agar dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarganya yakni kebutuhan pangan untuk
dapat bertahan hidup.
Demikian penjelasan di atas
yang menunjukkan adanya benang merah bahwa kemiskinan dapat disebabkan oleh
faktor-faktor buatan manusia seperti adanya distribusi pendapatan yang tidak
merata, kebijakan dari pemerintah yang tidak adil dan cenderung menguntungkan
kelompok masyarakat tertentu, juga dari sikap hidup mereka atau sekelompok
masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya mereka seperti sikap malas, dan
pasrah terhadap nasib.
Berdasarkan uraian di
atas, kemiskinan yang terjadi pada masyarakat peisisr di kecamatan Mariso
kelurahan Lette menjadi landasan utama serta titik tolak penulis sehingga
tertarik untuk mengkaji dan meneliti tentang kemiskinan pada masyarakat nelayan
dengan mengangkat judul sebagai berikut: ”Kemiskinan Nelayan (Studi
Kasus pada Komunitas Nelayan di Kelurahan Lette Kecamatan Mariso Kota Makassar)”.
B. Perumusan
Masalah
Berdasarkan uraian dan pokok-pokok pemikiran di
atas, maka rumusan masalah yang akan
diungkap dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa
kemiskinan masih terjadi pada komunitas nelayan di
kelurahan Lette kecamatan Mariso kota Makassar ?
2. Bagaimana
bentuk kemiskinan yang terjadi pada komunitas nelayan di kelurahan Lette
kecamatan Mariso kota Makassar ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui
dan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya masalah kemiskinan yang
ditinjau dari perspektif kultur dan struktur pada komunitas nelayan di
kelurahan Lette kecamatan Mariso kota Makassar.
2. Mengetahui
bentuk-bentuk kemiskinan yang ada pada komunitas nelayan di kelurahan Lette
kecamatan Mariso kota Makassar.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1.
Manfaat Teoretis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan bahan dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan utamanya dalam
pengembangan disiplin ilmu sosiologi yakni sosiologi maritim, sosiologi
perkotaan dan perdesaan serta sosiologi pembangunan, mengenai konsep kemiskinan
dan penyebab terjadinya kemiskinan ditinjau dari perpektif struktur dan kultur
beserta bentuk kemiskinan yang dialami oleh masyarakat pesisir pantai wilayah
perkotaan.
2.
Manfaat Praktis
1.
Sebagai
bahan masukan bagi instansi-instansi yang terkait dan pemerhati masalah kemiskinan
pada masyarakat nelayan.
2. Dengan adanya data riil, dapat
dijadikan sebagai parameter bagi pihak-pihak yang terkait utamanya dari pihak
pemerintah kota Makassar dan pemerintah propinsi Sulawesi Selatan dalam
memformulasikan kebijakan agar kedepannya, pengambilan kebijakan bisa lebih
tepat pada sasaran.
3. Sebagai khasanah bacaan mengenai
karakteristik kehidupan masyarakat nelayan miskin, faktor-faktor penyebab
terjadinya kemiskinan serta bentuk-bentuk kemiskinan yang terjadi pada
masyarakat nelayan.
4. Sebagai
bahan referensi (acuan) bagi peneliti lainnya yang berminat mengkaji lebih
dalam lagi mengenai masalah yang sama serta dalam upaya pengembangan lebih
lanjut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pandangan Teoretis
Mengenai Kemiskinan
Kemiskinan dan
keterbelakangan merupakan fenomena sosial yang menjadi atribut di negara-negara
dunia ketiga. Fenomena ini juga merupakan gambaran kebalikan dari kondisi yang
dialami oleh negara-negara maju. Menurut Sumodiningrat (1989: 26), bahwa
kemiskinan merupakan suatu problema yang bersifat multidimensional, dalam arti
berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, politik dan aspek lainnya.
Sedangkan Kartasasmita (1997: 24) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah
dalam pembangunan yang ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan, yang
kemudian meningkat menjadi ketimpangan.
Kemiskinan merupakan
masalah kemanusiaan yang telah lama diperbincangkan karena berkaitan dengan
tingkat kesejahteraan masyarakat dan upaya penanganannya. Menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia (1993), miskin berarti tidak memiliki harta benda; serba
kekurangan. Dengan demikian kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan
hal-hal yang biasa untuk dipunyai (kebutuhan primer) seperti makanan, pakaian,
tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini sangat berhubngan erat dengan
kualitas hidup. Disamping itu, kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya
akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan
dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.
Dalam membahas soal
kemiskinan, diperlukan identifikasi apa sebenarnya yang dimaksud dengan miskin
atau kemiskinan itu dan bagaimana mengukurnya. Oleh karena itu, pengkajian
tentang kemiskinan harus dimulai dengan menentukan konsep tentang kemiskinan,
karena perbedaan epistemologis akan menghasilkan keragaman metodologis sekaitan
dengan identifikasi dan pengukuran kemiskinan.
Baulch (dalam Sajogyo,
1996: 65) menyatakan bahwa: Para sarjana dan pengambil kebijakan memberikan
makna yang berbeda-beda tentang kemiskinan, perbedaan itu tercermin dalam
perbedaan metodologi pengukuran, teknik penjelasan, strategi pengentasan, dan
pada akhirnya, hasil evaluasi. Kalangan akademisi cenderung menggarisbawahi
sifat multidimensi dari kemiskinan, dengan menafsirkan konsep kemiskinan
sehubungan dengan berbagai macam “keadaan”, seperti “penderitaan”, “serba
kekurangan”, “kelemahan”, “ketidakberdayaan”, “kerentanan”, dan sebagainya.
Di Indonesia, standar
pengukuran kemiskinan digunakan konsep kemiskinan absolut dengan mengikuti
standar Bank Dunia (world bank). Namun beberapa pendekatan atau tepatnya
penyesuaian dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung batas
miskin. Kajian utama didasarkan pada ukuran pendapatan (ukuran finansial),
dimana batas kemiskinan dihitung dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per
kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimun makanan dan bukan makanan.
Untuk kebutuhan makanan digunakan patokan 2.100 kalori perhari. Sedangkan
pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk
perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Pengeluaran bukan makanan ini
dibedakan antara perkotaan dan pedesaan. Pola ini telah dianut secara konsisten
oleh BPS sejak tahun 1976. Sajogyo (1996: 27) menentukan garis kemiskinan
menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita maka yang digolongkan miskin
adalah orang yang pengeluaran rumah tangganya sama dengan, atau di bawah 320
kg/orang/tahun untuk perdesaan, dan 480 kg/orang/tahun untuk perkotaan.
Harus kita akui, bahwa
masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas
aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat
lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. Menurut penuturan Friedmann bahwa
kemiskinan merupakan akibat dari ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi
basis kekuatan sosial (dalam Alfian, 1980: 27). Penuturan dari Friedmann
tersebut melukiskan bahwa pada dasarnya masalah kemiskinan adalah suatu
ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang
memadai dalam memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas, oleh karena kurangnya
akses maupun kesempatan dalam memperoleh pendapatan, sehingga pada akhirnya
membuat lebih jauh dari standar kehidupan yang layak.
Sorjoeno Soekanto (2005),
mengemukakan bahwa kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan di mana
seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf
kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun
fisiknya dalam kelompok tersebut. Lebih jauh lagi,
sebab-sebab timbulnya masalah kemiskinan tersebut disebabkan oleh tidak
berfungsinya salah satu lembaga kemasyarakatan dengan baik yaitu lembaga
ekonomi. Soerjoeno Soekanto juga menjelaskan bahwa, pada masyarakat yang masih
sederhana susunan organisasinya, mungkin saja kemiskinan bukan merupakan
problema sosial sebab mereka menganggap semuanya sudah ditakdirkan sehingga
pada akhirnya mereka harus pasrah tanpa ada usaha-usaha untuk melepaskan diri
dari belenggu kemiskinan. Sedangkan pada masyarakat yang modern dan kompleks
kemiskinan, menjadi problema sosial, karena sikap membenci kemiskinan
disebabkan kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih dari apa
yang dimilikinya.
Dalam menganalisis
kemiskinan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dilihat dari teori
struktural fungsional. Teori struktural fungsional menjelaskan tentang
bagaimana semua sistem dalam sebuah institusi sosial dapat bekerja sesuai
dengan fungsinya masing-masing sehingga pada akhirnya dapat membentuk suatu
struktur sosial yang seimbang (equilibrum). Dengan demikian, kemiskinan
dalam suatu masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang wajar terjadi karena
dengan adanya orang miskin maka dapat menjaga kestabilan kondisi pada keadaan
yang seimbang dalam sebuah sistem sosial. Lebih jauh dari itu, dengan
kesulitan-kesulitan yang dialami oleh kaum miskin untuk mengakses hak-haknya di
segala bidang dalam sebuah struktur, pada akhirnya membuat mereka tetap berada
dalam kubangan kemiskinan.
Suparlan (1994: 18),
mengungkapkan bahwa kemiskinan dinyatakan sebagai suatu keadaan kekurangan
harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang.
Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok
orang itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhan-kebutuhan hidupnya
sebagaimana layaknya. Kekurangmampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat
kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau pada
tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial (pendidikan, berkomunikasi dan
berinteraksi dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
yang mendasar (makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah,
kesehatan dan sebagainya).
Dengan kondisi serba
kekurangan tersebut, kemiskinan pun terserap ke dalam dan mempengaruhi hampir
keseluruhan dari aspek-aspek kehidupan manusia. Kemiskinan yang diderita oleh
sekelompok orang bahkan sebuah masyarakat, menghasilkan suatu keadaan dimana
warga masyarakat yang bersangkutan merasa tidak miskin bila berada dan hidup
diantara sesamanya. Karena berbagai kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan
para warga kelompok tersebut dirasakan sebagai suatu hal yang biasa (sebagai
fenomena biasa dalam kehidupan keseharian mereka). Pada kondisi seperti itu,
tidak ada yang diacu untuk dipamerkan, sehingga diantara mereka tidak ada perasaan
saling berbeda, yang dapat menimbulkan perasaan malu. Dalam keadaan demikian,
maka kemiskinan terwujud dalam berbagai cara-cara mereka memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka untuk dapat hidup. Di kalangan masyarakat/kelompok
yang berada dalam kondisi miskin seperti itu, berkembang suatu pedoman bagi
kehidupan mereka yang diyakini kebenaran dan kegunaannya yang dilandasi oleh
kemiskinan yang mereka derita bersama. Pedoman atau kiat-kiat untuk menghadapi
fenomena miskin seperti itu kemudian melahirkan model-model adaptasi mereka
menghadapi kemiskinan.
Pada dasarnya, kemiskinan
berbeda dengan ketimpangan distribusi pendapatan (inequality). Perbedaan
ini sangat perlu ditekankan dimana kemiskinan berkaitan erat dengan standar
hidup yang absolut dari bagian masyarakat tertentu, sedangkan ketimpangan
mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Pada tingkat
ketimpangan yang maksimum, kekayaan dimiliki oleh satu orang saja dan tingkat
kemiskinan sangat tinggi (Kuncoro, 1997: 26). Dari uraian tersebut, kemiskinan
dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup
minimum.
Menurut Friedmann (dalam
Alfian, 1980: 28), untuk memahami lebih jauh persoalan kemiskinan ada baiknya
memunculkan beberapa kosakata standar dalam kajian kemiskinan yaitu sebagai
berikut: a. Poverty line (garis kemiskinan). Yaitu tingkat konsumsi
rumah tangga minimum yang dapat diterima secara sosial. Ia biasanya dihitung
berdasarkan income yang dua pertiganya digunakan untuk “keranjang
pangan” yang dihitung oleh ahli statistik kesejahteraan sebagai persediaan
kalori dan protein utama yang paling murah; b. Absolute and relative poverty
(kemiskinan absolut dan relatif). Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang
jatuh dibawah standar konsumsi minimum dan karenanya tergantung pada kebaikan
(amal). Sedangkan relatif adalah kemiskinan yang eksis di atas garis kemiskinan
absolut yang sering dianggap sebagai kesenjangan antara kelompok miskin dan
kelompok non miskin berdasarkan income relatif; c. Deserving poor adalah
kaum miskin yang mau peduli dengan harapan orang-orang non-miskin, bersih,
bertanggungjawab, mau menerima pekerjaan apa saja demi memperoleh upah yang
ditawarkan.
Friedmann (dalam Alfian,
1980: 29) merumuskan kemiskinan sebagai minimnya kebutuhan dasar. Kebutuhan
dasar itu dirumuskan sebagai berikut: a. Kebutuhan minimum dari suatu keluarga
akan konsumsi privat (pangan, sandang, papan dan sebagainya); b. Pelayanan
esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan untuk komunitas pada
umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga listrik, angkutan umum, dan
fasilitas kesehatan dan pendidikan); c. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan
keputusan yang mempengaruhi mereka; d. Terpenuhinya tingkat absolut kebutuhan
dasar dalam kerangka kerja yang lebih luas dari hak-hak dasar manusia; e.
Penciptaan lapangan kerja (employment) baik sebagai alat maupun tujuan
dari strategi kebutuhan dasar.
Berkaitan dengan hal di
atas, dalam menelaah persoalan kemiskinan, menurut Sunyoto Usman (2004: 125)
paling tidak ada tiga macam konsep kemiskinan yang dimunculkan yaitu sebagai
berikut:
1. Kemiskinan absolut adalah
konsep kemiskinan dengan membuat ukuran tertentu yang konkrit, ukuran itu
lazimnya berorientasi pada kebutuhan hidup dasar minimum anggota masyarakat.
2. Kemiskinan relatif ialah konsep
kemiskinan dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Dasar asumsinya
adalah kemiskinan di setiap waktu dan tempat berbeda-beda. Konsep kemiskinan
semacam ini diukur berdasarkan pada derajat kelayakan hidup.
3. Kemiskinan
subyektif dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Dalam
konsep ini seseorang yang dianggap berada pada garis kemiskinan justru tidak
merasa miskin.
Secara umum, ada dua macam
perspektif yang dipergunakan sebagai pendekatan dalam melihat masalah
kemiskinan yaitu perspektif kultural dan perspektif struktural. Setiap
perspektif tersebut memiliki acuan dan metodologi yang berbeda dalam
menganalisis problema kemiskinan. Perspektif kultural mendekati masalah pada
tingkat analisis individual, keluarga dan masyarakat sedangkan menurut
perspektif struktural masalah kemiskinan dilihat sebagai dampak dari sistem
ekonomi yang mendahulukan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern.
B. Kemiskinan
dalam Perspektif Struktural
Penganut paham strukturalis
umumnya menyatakan bahwa kemiskinan adalah struktur sosial yang tidak adil dan
ulah kelas sosial yang berkuasa yang seringkali karena kekuasaan dan kekayaan
yang dimiliknya itu kemudian mengeksploitasi masyarakat. Kemiskinan yang
terjadi karena struktur yang tidak adil inilah yang selanjutnya disebut sebagai
kemiskinan struktural. Jadi, masalah kemiskinan
dilihat sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital
dan produk-produk teknologi modern.
Perspektif struktural
menurut Rahmat (1987: 27) adalah pandangan kaum radikal yang tidak mengubris
soal culture of poverty. Mereka menekankan bahwa ketertinggalan yang
terjadi karena bekerjanya struktur yang memiskinkan. Hal tersebut bila mengacu
pada teori-teori Marxis tentang eksploitasi dan alienasi, maka dapat
ditarik suatu benang merah bahwa nelayan miskin bukan sepenuhnya disebabkan
oleh ketidakmampuan dari pihak nelayan tersebut, melainkan orang-orang
(nelayan) tersbut miskin, karena memang dilestarikan untuk miskin.
Negara yang melakukan
tindakan represif melalui kebijakan pembangunan dengan membiarkan kemiskinan
dan ketidakberdayaan warga yang berlarut-larut, berarti negara telah melakukan
tindakan kekerasan secara sistematik. Secara faktual, negara
masuk dalam perangkap kolonisasi pada rakyatnya, yakni lebih mengabdi pada
pemilik modal dalam stelsel kapitalisme, tercermin dalam bentuk kebijakan dan
regulasi yang berpihak pada komprador. Makin besar dan massifnya pembangunan
maka makin membengkak korban-korban pembangunan itu sendiri. Jikalau kita
saksikan radikalisasi dan fundamentalisme massa makin subur, semua itu karena
diundang penguasa yang berwatak kapitalistik. Bermacam tindakan nekat warga,
perlu dipahami sebagai bagian dari respon karena himpitan struktural yang tidak
bisa ditahan lagi akibat dari represifnya pembangunan.
Berkaitan dengan hal di
atas, kemiskinan mempunyai fungsi yang menunjang kepentingan kelompok dominan, ruling
elites, atau kelas kapitalis. Diasumsikan oleh Friedman (dalam Alfian,
1980: 78) bahwa ketertinggalan terjadi karena berlangsungnya perampasan daya
kemampuan terhadap masyarakat (nelayan). Perampasan daya ini berlangsung
melalui ekspansi kapitalisme dan melalui praktek pembangunan (negara
berkembang) pada struktur nasional dan lokal.
Selanjutnya, menurut
Friedman (dalam Alfian, 1980: 79) terdapat tiga jenis daya kemampuan pada
golongan tertinggal yang telah terampas yakni: (1) daya sosial, berupa akses
pada basis produksi rumah tangga lahan, sumber keuangan, informasi, pengetahuan
dan keterampilan, serta partisipasi dalam organisasi sosial; (2) daya politik,
berupa akses individu dalam pengambilan keputusan, dalam menyuarakan aspirasi,
dan bertindak secara kolektif; (3) daya psikologis, berupa kesadaran tentang
potensi diri.
Secara teoretis, kemiskinan
struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang di alami oleh suatu
masyarakat yang penyebab utamanya bersumber dari sistem, dan oleh karena itu
penyebab dapat dicari pada ranah struktur sosial yang berlaku dimana mereka
yang termasuk miskin tidak mampu memperbaiki hidupnya. Atau dengan kata lain
mereka miskin karena dimiskinkan oleh struktur yang dalam hal ini berupa
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh institusi. Sehingga, harus diakui
bahwa dalam kemiskinan struktural memang ada suatu usaha untuk menciptakan
jurang semakin lebar antara yang kaya dengan yang miskin, dimana yang kaya
semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Lebih jauh kemiskinan
struktural, lanjut para pakar strukturalis, adalah kemiskinan yang timbul dari
adanya korelasi struktur yang timpang, yang timbul dari tiadanya suatu hubungan
yang simetris dan sebangun yang menempatkan manusia sebagai obyek. Kemiskinan
struktural timbul karena adanya hegemoni dan justru karena adanya kebijakan
negara dan pemerintah atau orang-orang yang berkuasa, sehingga justru orang
yang termarjinalkan semakin termarjinalkan saja.
Dengan demikian, kemiskinan
yang timbul, adalah karena persoalan ketimpangan struktur dalam masyarakat
dimana hal tersebut dapat ditelusuri dengan menganalisis institusi yang ada
pada masyarakat yang bersangkutan. Asumsi dasarnya adalah bahwa kemiskinan
bukan saja bersumber dari kelemahan diri melainkan kemiskinan semacam ini
merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan yang selama ini
direncanakan terkait dengan peran strategis pemerintah dalam perencanaan dan
implementasi pada pembangunan.
Menurut Selo Soemardjan
(1980), kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu
golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakt itu sehingga mereka tidak
dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk
mereka.
Masalah kemiskinan
struktural, bila dikaitkan dengan tipe solidaritas Durkheim,
sesungguhnya muncul pada masa industrialisasi awal dimana terjadi peluruhan
tipe solidaritas yang sebelumnya ada dalam masyarakat yaitu solidaritas mekanik
yang bertransformasi menjadi solidaritas organik. Proses pentransformasian
tersebut terjadi secara paksa, dimana perkembangan teknologi menuntut individu
untuk merubah pola-pola solidaritas terdahulu menjadi lebih rasional secara
materi dan otonomi individu dan heterogenitas sosial mendapat peluang yang
lebih besar menjadikan kelompok-kelompok solidaritas terdahulu terfragmentasi
(maksud dari rasional secara materi ialah tindakan individu diarahkan kepada
pertimbangan untung rugi secara materi) dan melunturkan hubungan-hubungan
kontraktual yang menjadi ciri khas solidaritas mekanik. Proses transformasi
yang diwujudkan dalam pembagian kerja menuntut individu-individu untuk mempunyai
keahlian dalam bidang yang spesifik yang memenuhi kualifikasi yang diberlakukan
dalam pekerjaan tersebut. Namun, tidak semua individu dapat memenuhi
kualifikasi tersebut. Individu-individu yang tidak lulus kualifikasi dalam
kurun waktu tertentu memunculkan bentuk-bentuk struktur sosial yang baru
sebagai reaksi dari proses penyisihan tersebut dan ketidakberdayaan mereka
untuk mengakses sumber-sumber kesejahteraan yang mereka butuhkan.
Bentuk-bentuk struktur
sosial yang baru tersebut digunakan untuk menunjang pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan para anggotanya. yang ada dalam golongan itu. Dalam hal
ini, terjadi proses pembentukan nilai kolektif sebagai reaksi terhadap fakta
sosial yang terjadi. Fakta sosial tersebut mengandung suatu bentuk atau pola
dari cara bertindak, berfikir dan berperasaan dan memaksa individu. Nilai
kolektif ini terbentuk karena pandangan-pandangan subyektif kaum yang tak lulus
kualifikasi (kaum marginal) kemudian mendapatkan legitimasi secara sosial dari
anggota kelompoknya. Pandangan-pandangan tersebut terkonstruksi menjadi
pandangan hidup bersama. Masyarakat telah terkonsepsikan dalam dirinya bahwa
mereka tidak akan atau sulit untuk bisa mempertahankan hidup dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya secara individualis. Kekalahan mereka dan
ketidakberdayaan mereka dalam berkompetisi dengan individu lain yang dapat
memenuhi kualifikasi menimbulkan sikap apatis, curiga dan merasa
terdiskriminasikan terhadap mereka yang sukses. Perwujudan sikap apatis
tersebut diwujudkan dengan keengganan mengintegrasikan diri mereka kedalam
lembaga-lembaga utama dalam masyarakat. Dalam level individu, struktur
pribadinya lemah dikarenakan terjadi pengikisan rasa optimis dengan
mengkonsepsikan diri mereka sebagai seseorang yang tidak berharga, tidak berdaya,
dan rendah diri, sehingga pada akhirnya individu-individu ini dihantui ancaman
akan jatuh miskin.
Menyadari hal itu, mereka
kemudian bergantung kepada struktur sosial yang telah terbentuk agar mereka
terlindung dari jatuh miskin. Mereka mempunyai kekhawatiran yang mendalam
apabila struktur sosial yang telah mapan dalam komunitas mereka mengalami
perubahan. yang berarti, adanya perubahan tersebut dapat menimbulkan
kemungkinan-kemungkinan terjadi ketidakstabilan dalam struktur yang dapat
mengakibatkan mereka jatuh miskin. Maka, mereka sangat menjaga keteraturan
dalam sistem dan tidak menginginkan adanya perubahan. Atau dengan kata lain,
komunitas tersebut tidak bisa berkembang dan tetap tinggal statis.
C. Kemiskinan
dalam Perspektif Kultural
Penganut paham modernis
sangat berbeda pemahamannya dengan penganut paham strukturalis, dimana mereka
justru memandang masalah kemiskinan timbul atau berawal dari kelemahan diri
yang dalam hal ini berupa keinginan untuk mau menerima hal-hal baru dan
perubahan yang sedang terjadi dalam suatu keadaan tertentu termasuk rendahnya
etos kerja atau dengan kata lain berada pada mentalitas yang terbangun baik
dalam diri individu, keluarga dan masyarakat secara luas. Pada tingkat
individual bisa dikatakan bahwa kemiskinan yang terjadi pada dirinya bersumber
dari perasaan yang kuat akan kemarginalan seperti bersikap pasrah akan nasib,
boros dan tidak mau bekerja keras. Kemudian pada tingkat keluarga, ditandai
dengan jumlah keluarga yang relatif besar. Dan pada tingkat masyarakat
ditunjukkan dengan tidak terintegrasinya individu-individu dalam masyarakat
miskin dalam sebuah institusi-institusi sosial kemasyarakatan secara efektif
sehingga sangat sulit terintegrasi dalam merubah nasib diri secara
bersama-sama.
Perspektif kultural menurut
Rahmat (1987: 24) adalah merupakan pandangan kaum konservatif. Kaum konservatif
memandang kemiskinan tidak bermula dari struktur sosial tetapi berasal dari
karakteristik khas orang-orang miskin itu sendiri.
Perspektif kultural
mendekati masalah kemiskinan menekankan pada penyebab dari tingkah laku manusia
yang kurang atau tidak mendukung pembangunan. Hal ini ditandai dengan sifat
yang lazim disebut a strong feeling of marginality seperti: sikap
parokial, apatisme, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan
inferior. Pendekatan kultural yang dipakai dalam menjelaskan masalah
pembangunan kemudian dikenal dengan nama teori modernisasi (Lauer, 2003: 128)
dengan penekanan pada: a. Teori modernisasi yang menggunakan pendekatan
kultural menekankan peran dari aspek nonmaterial manusia, yakni ide, di mana
dunia material dipengaruhi dan diubah melalui ide. Yang digarap adalah aspek
kejiwaan dari manusia dan aspek nilai dari masyarakat. b. Teori modernisasi
cenderung mencari sebab-sebab kegagalan pembangunan di negara-negara berkembang
adalah mental dari penduduknya atau nilai-nilai dari masyarakatnya. Di samping
itu, juga menularkan mental/sikap pribadi dan nilai masyarakat modern yang
dibutuhkan demi keberhasilan pembangunan.
Inti dari pendekatan kultural
ialah kesediaan untuk mempertimbangkan perubahan, suatu sikap yang mutlak
berhubungan dengan individualisme dan rasionalisme. Salah satu pendekatan
kultural ialah teori etos kerja, yang oleh Toffler (dalam
Rahmat, 1987: 72) mengomentari bahwa: ethos which means
both character and sentiment of the community
- what we might call culture. Artinya
etos itu bisa watak atau juga perasaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat
tertentu. Jika kita membicarakan etos, maka senantiasa
dikaitkan dengan masalah kebudayaan. Kebudayaan sendiri tidak hanya mencakup
pola tingkah laku. Disisi lain, Kartodirdjo (1993: 172) menyatakan bahwa etos
itu menunjuk kepada seluruh proses “pembiasaan” yang menghasilkan pola atau
pelembagaan nilai dan terwujud sebagai sikap, watak, dan mentalitas.
Selanjutnya, menurut Clifford Geertz (dalam Kartodirdjo, 1993: 173)
mendefinisikan etos kerja sebagai suatu sikap yang mendasar terhadap diri dan
dunia yang dipancarkan dalam hidup. Jadi etos disini merupakan aspek evaluatif
yang bersifat menilai, dalam hal ini dapat ditanyakan apakah kerja dapat
dianggap sebagai suatu keharusan dalam hidup, ataukah sebagai sesuatu yang
terikat pada identitas yang bersifat sakral.
Max Weber dalam bukunya
Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme mengemukakan mengenai konsep Beruf (bahasa
Jerman) sebagai suatu konsepsi agama tentang tugas yang ditentukan oleh Tuhan,
suatu tugas hidup, dan suatu lapangan yang jelas dimana harus bekerja. Sehingga
dengan demikian, bahwa dengan bekerja bukan saja dapat meningkatkan kualitas
diri seseorang secara ekonomi maupun sosial tetapi, juga mampu mengangkat
posisi individu di hadapan Tuhan. Pemikiran dari Weber tersebut, mencoba
menjelaskan bahwa dengan semangat kerja yang tinggi sebagai perwujudan dari
kultur dapat mengangkat seseorang ke posisi yang lebih terhormat baik secara
vertikal maupun horizontal dimana kualitas hidup dari mereka senantiasa
ditingkatkan sehingga pada akhirnya dapat menghindarkan diri dari kondisi
miskin.
D. Ciri-Ciri
Masyarakat Miskin
Bila berbicara mengenai
kemiskinan, kebanyakan dari kita akan berpikiran pada kondisi yang serba
kekurangan dan akses yang terbatas dalam segala bidang. Hal tersebut tentunya
adalah sebuah konklusi atas pandangan umum dari orang awam dalam menafsirkan
kemiskinan itu sendiri.
Salim (1984: 42) menyatakan
mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki beberapa ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Mereka pada
umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah yang cukup, modal
ataupun ketrampilan. Faktor produksi yang dimiliki sedikit sekali sehingga
kemampuan memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas.
2. Mereka tidak
memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri.
Pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun modal usaha.
Sedangkan syarat tidak terpenuhi untuk memperoleh kredit perbankan, seperti
adanya jaminan kredit dan lain-lain, sehingga mereka yang perlu kredit terpaksa
berpaling kepada “lintah darat” yang biasanya meminta syarat pelunasan yang
berat dan memungut bunga yang cukup tinggi.
3. Tingkat
pendidikan mereka rendah, tak sampai tamat sekolah dasar. Waktu mereka tersita
habis untuk mencari nafkah sehingga tidak tersisa lagi untuk belajar. Juga
anak-anak mereka tidak bisa menyelesaikan sekolah, karena harus membantu orang
tua mencari tambahan penghasilan atau menjaga adik-adik di rumah, sehingga
secara turun-temurun mereka terjerat dalam keterbelakangan di bawah garis
kemiskinan ini.
4.
Kebanyakan mereka tinggal di pedesaan. Banyak diantara mereka yang tidak
memiliki tanah, kalaupun ada maka kecil sekali Umumnya mereka menjadi buruh
tani atau pekerja kasar di luar pertanian. Karena pertanian bekerja dengan
musiman, maka kesinambungan kerja kurang terjamin. Banyak diantara mereka lalu
menjadi “pekerja bebas” (self employed) berusaha apa saja. Dalam keadaan
penawaran tenaga kerja yang besar maka tingkat upah menjadi rendah sehingga
mengurung mereka di bawah garis kemiskinan.
5.
Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak punya ketrampilan
(skill) atau pendidikan.
Selanjutnya, Suryawati
(dalam Salim, 1984: 44) menyebutkan ciri-ciri kelompok (penduduk) atau
masyarakat miskin adalah:
1.
Rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal,
peralatan kerja dan keterampilan
2.
Mempunyai tingkat pendidikan yang rendah
3. Kebanyakan
bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal),
setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja)
4.
Kebanyakan berada di pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area)
dan
5.
Kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup) bahan kebutuhan
pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan,
angkutan, fasilitas komunikasi dan kesejahteraan sosial lainnya.
Situmorang (dalam Salim,
1984: 45), mengemukakan ciri-ciri masyarakat miskin secara umum ditandai oleh
ketidakberdayaan/ ketidakmampuan (powerlessness) dalam hal: a. Memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan,
dan kesehatan; b. Melakukan kegiatan usaha produktif; c. Menjangkau akses
sumber daya sosial ekonomi; d. Menentukan nasibnya sendiri serta senantiasa
mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan,
serta sikap apatis dan fatalistik; dan e. Membebaskan diri dari mental dan
budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang
rendah.
Sementara itu, menurut
Badan Pusat Statistik menyebutkan ciri-ciri masyarakat miskin kedalam 14 (empat
belas) kriteria, yaitu: a. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2
per orang; b. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari
tanah/bambu/kayu murahan; c. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari
bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplaster; d. Tidak memiliki
fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain; e.
Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik; f. Sumber air minum
berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan minyak tanah; g.
Bahan bakar untuk memasak sehari-hari menggunakan kayu bakar/arang/minyak
tanah; h. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu; i.
Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam satu tahun; j. Hanya sanggup makan
sebanyak satu/dua kali dalam satu hari; k. Tidak sanggup membayar biaya
pengobatan di Puskesmas; l. Lapangan pekerjaan utama Kepala Rumah Tangga Petani
dengan luas lahan 0,5 ha/buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan
atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000.- (enam ratus
ribu rupiah); m. Pendidikan tertinggi Kepala Rumah Tangga tidak sekolah/tidak
tamat SD/hanya SD; dan n. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual
dengan nilai minimal Rp. 500.000,-.
Ciri-ciri kemiskinan
berbeda antar wilayah, di mana perbedaan ini terkait pada kemiskinan sumber
daya alam, sumber daya manusia dan kelembagaan setempat. Oleh karena adanya
perbedaan tersebut, maka dalam upaya penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah
perlu terlebih dahulu digali penyebab dan ciri-ciri dari kemiskinan
masing-masing daerah, sehingga program yang diluncurkan bisa tepat sasaran.
E. Faktor-Faktor
Kemiskinan
Kemiskinan bukanlah suatu
hal yang dikehendaki, akan tetapi lebih diakibatkan oleh adanya faktor-faktor
tertentu yang menyebabkan orang terjebak ke dalam jurang kemiskinan, baik itu
berupa faktor alamiah maupun faktor buatan manusia itu sendiri.
Tidak semua orang
sependapat dalam memberi jawaban atas sebab dari kemiskinan. Secara umum banyak
orang mengatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah karena kemalasan, gaya hidup
boros tidak memikirkan masa depan, pasrah pada keadaan, tidak punya keinginan
untuk hidup lebih baik dan berbagai sikap yang tidak bertanggung jawab lainnya.
Kemiskinan merupakan
konsekuensi dari hidup yang penuh dengan persaingan, sehingga hanya yang
kuatlah yang berhasil melepaskan diri dari kungkungan kemiskinan. Artinya
mereka-mereka yang mempunyai akses terhadap modal, pengetahuan, penguasaan
teknologi dan informasilah yang berhasil dalam persaingan tersebut.
Hardiman dan Midgley (dalam
Kuncoro, 1997: 119) mengatakan bahwa kemiskinan massal yang terjadi di banyak
negara yang baru saja merdeka setelah Perang Dunia ke II memfokuskan pada
keterbelakangan dari perekonomian negara tersebut sebagai akar permasalahannya.
Selanjutnya, Sharp, et, al
(dalam Kuncoro, 1997: 120) mengatakan penyebab kemiskinan bila
diidentifikasikan berdasarkan sudut pandang ekonomi adalah: Pertama; secara
mikro, kemiskinan muncul karena ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya,
yang menimbulkan kontribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya
memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua;
kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas
sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada
gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena
rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung adanya diskrimanasi. Ketiga;
kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
Kartasasmita (1997)
mengemukakan empat faktor penyebab kemiskinan. Faktor tersebut adalah sebagai
berikut: a) rendahnya taraf pendidikan; b) rendahnya taraf kesehatan; c)
terbatasnya lapangan kerja; dan d) kondisi keterisolasian.
Asnawi (dalam Kusnadi,
2000: 47) menyatakan suatu keluarga menjadi miskin disebabkan oleh tiga faktor,
yaitu: a) Faktor sumber daya manusia; b) Faktor sumber daya alam; dan c).
Faktor teknologi. Selanjutnya, Sigit (1993: 11) menjelaskan kesehatan yang
baik, pendidikan dan ketrampilan yang tinggi akan dapat meningkatkan
produktivitas dan selanjutnya akan dapat pula meningkatkan pendapatan. Selain
itu tingkat pendapatan juga ditentukan oleh penguasaan aset produksi.
Sejalan dengan pendapat
dari Sigit, Kusnadi (2000: 30) menjelaskan dalam hal tingkat pendidikan khususnya
bagi nelayan tradisional, untuk bekal kerja mencari ikan di laut latar
pendidikan seseorang nelayan memang tidak penting. Artinya karena pekerjaan
sebagai nelayan merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot
dan pengalaman, maka setinggi apapun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah
memberikan pengaruh terhadap kecakapan mereka dalam melaut. Persoalan dari arti
penting tingkat pendidikan ini biasanya baru mengedepan jika seorang nelayan
ingin berpindah ke pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan pendidikan
yang rendah, jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tradisional memilih
atau memperoleh pekerjaan lain selain menjadi nelayan.
Berkaitan dengan penguasaan
ketrampilan alternatif yang dimiliki oleh nelayan, Sudarso (2008: 7)
menyatakan, bahwa: akibat tidak memiliki keterampilan yang memadai juga karena
tidak dimilikinya aset produksi yang cukup, maka upaya untuk mencari pekerjaan
baru bagi seorang nelayan tradisional yang miskin jelas bukan hal yang mudah
dilakukan. Selanjutnya, Salim (1984: 40) menyatakan bahwa kemiskinan tersebut
melekat atas diri penduduk miskin, mereka miskin karena tidak memiliki aset
produksi dan kemampuan untuk meningkatkan produktivitas. Mereka tidak memiliki
aset produksi karena mereka miskin, akibatnya mereka terjerat dalam lingkaran
kemiskinan tanpa ujung dan pangkalnya.
Secara konkrit Hadiwageno
dan Pakpahan (dalam Salim, 1984: 45), berpendapat bahwa kemiskinan pada
dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: a) sumber daya alam yang
rendah; b) teknologi dan unsur pendukung yang rendah; c) sumber daya manusia
yang rendah; dan d) sarana dan prasarana termasuk kelembagaan yang belum baik.
Sedangkan bagi masyarakat pasisir, para pakar ekonomi sumber daya melihat
kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena
faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumber daya serta
teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat sehingga nelayan
tetap berada dalam kemiskinan.
Subade dan Abdullah (dalam
Bengen, 2001: 18) mengajukan argumen lain yaitu bahwa nelayan tetap tinggal
pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity
cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan
atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap
ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang
bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity
cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun
usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.
Panayotou (dalam Bengen,
2001: 18), mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena
kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way
of life). Pendapat Panayotou ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah
(dalam Bengen, 2001: 18) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki
kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku
sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan.
Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan
keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life
sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain
nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja
mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.
F. Definisi
Nelayan
Kemiskinan adalah salah satu masalah sosial yang
amat serius dan tumbuh disetiap dimensi serta sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat. Tak terkecuali di kota Makassar, permasalahan
kemiskinan masih dapat dijumpai utamanya pada komunitas marginal kota yang
dalam hal ini adalah komunitas nelayan.
Nelayan adalah suatu
komunitas yang mana mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan, baik di
laut, selat, teluk, danau maupun sungai dengan menggunakan perahu atau kapal
dan berburu atau menggunakan perangkap. Mereka umumnya tinggal atau menetap di
daerah pesisir pantai dan membentuk suatu komunitas yang disebut dengan
komunitas nelayan. Mereka adalah orang-orang yang begitu gigih dan akrab dengan
kehidupan di laut yang sifatnya keras. Pengetahuan tradisionalnya tentang
ekologi kelautan, merupakan bagian dari kehidupan mereka yang sifatnya turun
temurun. Para nelayan ini sangat percaya betapa pun kuatnya tantangan itu, laut
tetap menawarkan berbagai kemungkinan serta memberikan peluang dalam mencari
nafkah untuk memperolehnya dan mereka berjuang dengan penuh keyakinan, keuletan
dan ketabahan serta penggunaan teknologi yang sederhana.
Menurut Gordon (dalam
Satria, 2002) bahwa nelayan adalah orang yang melakukan penangkap ikan baik di
perairan laut atau pun di perairan umum dengan menggunakan seperangkat alat
tangkap ikan. Nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan
kegiatan penangkap ikan di laut. Definisi ini dibuat untuk konteks masyarakat
tradisional. Ketika perikanan sudah mengalami berbagai perkembangan,
pelaku-pelaku dalam penangkapan ikan semakin beragam statusnya.
Secara sosiologis, fenomena
ini merupakan konsekuensi dari adanya differensisasi sosial yang salah satunya
berupa pembagian kerja atau divission of labour. Satria (2002)
mengatakan bahwa nelayan dapat kita bagi menjadi nelayan pemilik dan nelayan
buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki sarana
penangkapan seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap lainnya. Sementara
nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam
kegiatan penangkapan ikan di laut.
Direktoral Jenderal
Perikanan (2002), mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif
melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/ binatang air lainnya/
tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau
mengangkat alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/ kapal tidak dikategorikan
sebagai nelayan. Sementara itu, ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas
kapal penangkap disebut juga sebagai nelayan meskipun tidak secara langsung
melakukan penangkapan ikan. Sama dengan penangkapan ikan pada pembudidayaan,
orang yang disebut sebagai petani adalah orang yang melakukan pekerjaan
pemeliharaan ikan sebagai anggota rumah tangga maupun buruh/tenaga kerja.
G.
Bentuk-Bentuk Kemiskinan.
Kemiskinan merupakan
masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti halnya
kemiskinan yang terjadi pada komunitas nelayan di kelurahan Lette kecamatan
Mariso kota Makassar, bahwa penyebab kemiskinan mereka dapat dilihat dari sudut
pandang perspektif kultural dan perspektif struktural.
Atas penjelasan yang telah
dikemukakan di atas tadi, maka kemiskinan pada komunitas nelayan di kelurahan
Lette dalam perspektif kultural disebabkan oleh dua faktor yaitu : (i) Pasrah
terhadap nasib (fatalis) dan (ii) Gaya hidup yang konsumtif. Kemudian penyebab
miskin yang kedua, dapat di tilik secara struktural yaitu sebagai berikut : (i)
Adanya ketidakseimbangan akses ekonomi yang mana dalam hal ini berupa
terjadinya hubungan kerja yang bersifat eksploitatif dan sistem bagi hasil yang
tidak adil. (ii) Peranan lembaga pemasaran
yang kurang maksimal. Jadi, berdasarkan hal tersebut maka bentuk kemiskinan
dalam penelitian ini bila dilihat dari bentuknya dapat dibedakan ke dalam dua
bentuk, yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural.
Bentuk kemiskinan yang
pertama adalah kemiskinan kultural. Kemiskinan ini adalah kemiskinan yang
mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan
oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka atau nelayan dalam
hal ini merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok
masyarakat seperti ini tidak mudah diajak berpartisipasi dalam pembangunan,
tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya dan
berkibat pada rendahnya tingkat pendapatan.
Senada dengan Narwoko, Selo
Soemardjan (1980) juga berpendapat demikian bahwa penyebab terjadinya
kemiskinan struktural oleh karena adanya stuktur sosial yang timpang dan
berlaku dalam suatu masyarakat sehingga mereka yang termasuk ke dalam golongan
miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasib dan tidak mampu memperbaiki
hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka ke dalam suasana
kemiskinan secara turun temurun selama bertahunn-tahun. Sejalan dengan itu,
mereka hanya mungkin keluar dari penjara kemelaratan melalui suatu proses
perubahan struktur yang mendasar.
Landasan-landasan teoretis
dalam membedah masalah kemiskinan di atas, relevan dengan fakta yang ditemukan
di lokasi penelitian dimana penyebab kemiskinan secara struktural berpangkal
dari dua jalur. Pertama faktor ketidakseimbangan akses ekonomi berupa
terjadinya hubungan kerja yang bersifat eksploitatif dan sistem bagi hasil yang
tidak adil. Seperti yang telah disinggung di muka, sistem bagi hasil tangkapan
sangat menguntungkan pemilik modal dan sebaliknya merugikan nelayan pekerja.
Kesenjangan pendapatan antara pemilik modal dengan nelayan pekerja karena biaya
operasional ditanggung seluruhnya oleh nelayan pekerja. Bisa dibayangkan, bila
kemudian dalam relasi yang asimetris ini atau tidak seimbang maka nelayan pekerja
selalu tertinggal dalam mengakumulasi kesejahteraan ekonomi sehingga hidupnya
sepanjang waktu dalam posisi miskin. Dan ironisnya, ketika tiba musim ikan maka
secara otomatis intensitas operasi penangkapan pun ikut meningkat untuk
memperoleh hasil tangkapan.
Dalam kaitannya dengan
eksploitasi dan sistem bagi hasil yang tidak adil tentu akan membuat nelayan
kecil hanya ”berjalan di tempat”. Padahal pada tataran ideal, ketika sistem
bagi hasil itu dilakukan secara adil, maka tingkat penghasilan nelayan pekerja
saat musim ikan dapat dijadikan sebagai bekal ketika memasuki bulan-bulan musim
kemarau dimana pada musim ini tingkat penghasilan sangat minim dan sering tidak
memperoleh hasil tangkapan sama sekali (masa paceklik). Musim sepi hasil
tangkapan akan berlangsung sekitar delapan bulan dan akumulasi simpanan
penghasilan yang diperoleh selama musim ikan, tidak akan pernah mencukupi untuk
mengatasi kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari rumah tangga nelayan
pekerja. Sebagai jalan keluar untuk melalui musim paceklik tersebut maka, tidak
sedikit nelayan pekerja yang harus berhutang kepada toke atau nelayan pemilik
modal. Dan bila demikian, maka ketergantungan akan terus berlanjut dan secara
struktural, keadaan itu akan membuat nelayan kecil tetap berada pada jeruji
kemiskinan (kelas subordinat).
Selanjutnya faktor kedua
yaitu peranan lembaga koperasi yang kurang optimal dalam mendukung nelayan
kecil untuk bisa keluar atau minimal berkurang beban hidupnya. Sesuai data
primer yang didapat di lapangan, bahwa koperasi nelayan yang hanya berjumlah 1
unit dan terletak di jalan Rajawali ternyata juga belum mampu membawa nelayan
kecil keluar dari lingkaran kemiskinan. Peranan lembaga tersebut dalam hemat
penulis pada tataran yang ideal harusnya bisa menjadi wadah bagi nelayan kecil
agar tidak terlalu berat menanggung beban hidup utamanya di saat musim paceklik
tiba. Dengan kata lain, ketika lembaga ini bisa berperan secara optimal maka di
saat musim paceklik tiba akumulasi dari modal yang didapatkan dapat dijadikan sebagi
modal misalnya untuk berusaha atau berdagang sebagai pekerjaan alternatif.
Akan tetapi, kondisi
objektif di lapangan ternyata tidak demikian dimana lembaga tersebut hingga
kini hanya melayani kegiatan simpan pinjam dana. Padahal di awal terbentuknya
lembaga ini, kegiatan yang dilakukan tidak hanya sebatas pada kegiatan simpan
pinjam namun juga pada wilayah pemasaran hasil tangkapan ikan dari nelayan
kecil melalui usaha-usaha yang proaktif dan kreatif.
Olehnya itu, tidak lah
mengherankan ketika tiba musim paceklik, nelayan kecil masih saja terjebak
dalam pusaran utang dengan bunga yang tinggi. Sedangkan pada musim panen,
penghasilan habis untuk membayar utang dan hasil tangkapan juga tidak
menggembirakan (walaupun tangkapannya banyak) karena dibeli dengan harga murah.
Fakta inilah yang menyebabkan sepanjang tahun kehidupan nelayan pekerja sangat
mengenaskan karena ditikam oleh kekuatan dari segala penjuru yang menyudutkan
posisi mereka.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang telah telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Masalah kemiskinan yang
terjadi pada komunitas nelayan di kelurahan Lette kecamatan Mariso kota
Makassar disebabkan oleh faktor kultur berupa sikap hidup yang pasrah terhadap
nasib (fatalis) serta pola hidup yang konsumtif. Kemudian
faktor struktur berupa adanya ketidakseimbangan akses ekonomi dan kurang
optimalnya peranan dari lembaga ekonomi.
2. Bentuk
kemiskinan yang terjadi pada nelayan di kelurahan Lette dapat dikelompokkan ke
dalam dua kategori yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural.
B. Saran-saran
Dalam rangka mengatasi
permasalahan kemiskinan yang terjadi pada komunitas nelayan di kelurahan Lette
kecamatan Mariso kota Makassar maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Pemerintah dalam
melihat persoalan kemiskinan nelayan di kelurahan Lette kecamatan Mariso kota
Makassar, harus memperhatikan perspektif aspek aktor/pelaku kemiskinan. Artinya
pemerintah tidak melihat nelayan hanya sebagai korban kemiskinan yang pasif,
tetapi nelayan utamanya nelayan kecil adalah orang-orang yang memiliki suatu
kemampuan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi kehidupannya dan lebih
banyak memberikan keterjangkauan mereka akan sumber daya yang tersedia di
lingkungan nelayan itu sendiri (acsess to resources).
2. Sebagai langkah
awal yang harus dilakukan oleh pemerintah kota dalam memberikan keterjangkauan
nelayan kecil dalam mengakses sumberdaya yang tersedia kepada nelayan perlu
diberikannya hal-hal yang bersifat inovatif yakni memberikan penyuluhan,
pendidikan dan pelatihan keterampilan. Di mana upaya-upaya ini tidak hanya
diberikan kepada nelayan saja, tetapi juga dilakukan terhadap keluarga nelayan (istri
dan anak), karena mereka merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk
menunjang pendapatan keluarga nelayan.