Kamis, 26 Januari 2012

Kemiskinan Nelayan



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masalah kemiskinan merupakan persoalan yang dihadapi seluruh daerah perkotaan di Indonesia yang hingga kini belum mampu ditanggulangi. Ketidakmampuan setiap pemerintah kota di Indonesia dalam menanggulangi masalah kemiskinan ini, disebabkan karena strategi penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan belum mampu menjawab atau menyentuh akar persoalan kemiskinan itu.
Kemiskinan adalah salah satu masalah sosial (social problem) yang amat serius dan tumbuh disetiap dimensi serta sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Tak terkecuali di kota Makassar, masalah kemiskinan masih dapat dijumpai utamanya pada komunitas marginal kota yang dalam hal ini adalah komunitas nelayan.
Menanggapi persoalan kemiskinan yang belum terselesaikan, pemerintah kota sendiri telah mencanangkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2008, dengan memberikan harapan yang besar dalam perbaikan kondisi kehidupan bermasyarakat. Dalam RPJM disebutkan bahwa, kemiskinan tidak lagi dipahami sebatas ketidakmampuan ekonomi tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan adanya perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Salah satu hak dasar yang dimaksud adalah jaminan rasa aman serta partisipasi masyarakat (miskin) dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan. (www.pemkotmakassar.go.id).

Selanjutnya, dalam RKP tahun 2008 dinyatakan bahwa, kebijakan pemerintah lebih diarahkan pada upaya pemantapan dan pengembangan berbagai regulasi dan program yang memiliki dampak luas terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak dasar masyarakat miskin. Sebagai salah satu implementasinya, kebijakan penanggulangan kemiskinan difokuskan pada perwujudan keadilan dan kesetaraan gender serta pengembangan wilayah melalui percepatan pembangunan perkotaan, dan percepatan pembangunan kawasan pesisir.
Berkaitan dengan hal di atas, penggalakan program dari pemerintah kota Makassar dalam menanggulangi masalah kemiskinan terus dilaksanakan, seperti pemberian bantuan kucuran dana bergulir, bantuan beras miskin, subsidi BBM serta program pemberdayaan masyarakat miskin wilayah perkotaan. Namun, berbagai program dari pemerintah tersebut, ternyata belum juga mampu mengangkat masyarakat miskin dari garis kemiskinan dan tak terkecuali komunitas nelayan miskin di kota Makassar.
Komunitas nelayan merupakan salah satu dari sekian komunitas di kota Makassar yang teridentifikasi sebagai golongan miskin. Komunitas nelayan tersebut, bermukim di kelurahan Lette yang terintegrasi ke dalam wilayah administratif kecamatan Mariso kota Makassar.
Hasil pendataan yang dilakukan oleh pemerintah kota Makassar, menyebutkan bahwa jumlah warga miskin terbanyak ke dua ada di kecamatan Mariso, setelah kecamatan Ujung Tanah yang menempati urutan pertama. Adapun jumlah penduduk miskin atau dikategorikan sebagai keluarga belum sejahtera di kecamatan Mariso sebanyak 4.690 KK. Terkhusus untuk kelurahan Lette kecamatan Mariso, jumlah penduduk miskin sebesar 775 KK dan sebagian besar diantaranya bermata pencaharian sebagai nelayan (Fajar, edisi 27 November 2010).
Melimpahnya potensi hayati yang dikandung oleh laut di sekitar tempat komunitas nelayan bermukim, seyogyanya dapat menjadi suatu asset besar bagi nelayan setempat dalam upaya memperbaiki taraf hidup mereka secara ekonomi. Namun, kenyataannya sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam ketidakmampuan secara finansial dan belum sejahtera. Sehubungan dengan itu, komunitas nelayan bisa miskin bukan karena kesalahan nelayan itu sendiri misalnya mereka malas bekerja, tetapi lebih disebabkan oleh adanya sebuah struktur yang timpang kemudian dilegitimasi dengan suatu peraturan, sehingga membuat para nelayan tetap berada pada kubangan kemiskinan secara struktural.
Kenyataan di atas, sesuai dengan hasil observasi awal yang  terlihat, dimana pada pagi hari dapat ditemui pada nelayan yang telah giat bekerja untuk turun ke laut guna menangkap ikan. Selain itu, ada pula diantara mereka yang mengangkut hasil tangkapannya dengan memakai sepeda menuju tempat pelelangan ikan untuk memasarkan langsung. Kondisi ini menujukkan bahwa, ada satu struktur atau sistem yang membuat sekian banyak nelayan menjadi terpinggirkan secara ekonomi.
Disamping itu, nelayan seringkali dijadikan objek eksploitatif oleh para pemilik modal. Misalnya, ketika harga ikan yang merupakan sumber pendapatan mereka, dikendalikan oleh para pemilik modal atau para pedagang/tengkulak. Hal ini, tentu saja dapat membuat distribusi pendapatan menjadi tidak merata dimana dengan adanya permainan harga, nelayan mendapatkan income yang rendah atau berada pada posisi yang dirugikan sedangkan para pemilik modal, dapat meraup keuntungan yang besar dari adanya tindakan spekulasi harga. Demikian halnya dengan gejala modernisasi perikanan yang juga tidak banyak dapat membantu, bahkan sebaliknya membuat nelayan utamanya nelayan tradisional menjadi semakin terpinggirkan, seperti pada saat munculnya kapal tangkap yang berukuran besar dan berteknologi modern (motorisasi) yang mampu menangkap ikan lebih banyak. Penggunaan kapal besar yang berteknologi modern oleh pemilik modal sudah barang tentu dapat menghasilkan tangkapan ikan yang lebih besar bila dibandingkan dengan nelayan tradisional yang hanya menggunakan teknologi tradisional.
Tak bisa dipungkiri, bahwa citra nelayan utamanya nelayan kecil/tradisional masih sangat identik dengan kemiskinan. Nelayan bahkan disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Haeruman (dalam Fachruddin, 2005) yang mengatakan bahwa kelompok nelayan merupakan golongan yang paling miskin di Indonesia. Lebih lanjut, Winahyu dan Santiasih (dalam Kusnadi, 2000) mempertegas bahwa dibandingkan dengan sektor pertanian sekalipun, nelayan, khususnya nelayan buruh dan kecil atau nelayan tradisional, dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin.
Kemiskinan yang dialami oleh komunitas nelayan di kelurahan Lette, sesungguhnya juga tak lepas dari pengaruh atau budaya yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Terlepas dari sadar atau pun tidak sadar, budaya atau kebiasaan hidup seperti sikap malas dan pasrah terhadap nasib telah menjadi bagian dari mentalitas, sehingga secara psikologis, individu dari komunitas nelayan akhirnya merasa kurang bahkan tidak memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Akibat dari sikap hidup di atas, pada akhirnya menyebabkan tingkat pendapatan dari seorang nelayan tidak menentu bahkan terkadang nihil, sehingga pada saat tingkat pendapatan dari nelayan rendah, maka sangat logis bila tingkat pendidikan anak-anaknya pun rendah. Tidak sedikit anak nelayan yang harus berhenti sebelum lulus sekolah dasar atau tidak melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Umumnya mereka disuruh bekerja untuk membantu orang tua dalam mencari nafkah agar dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarganya yakni kebutuhan pangan untuk dapat bertahan hidup.
Demikian penjelasan di atas yang menunjukkan adanya benang merah bahwa kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti adanya distribusi pendapatan yang tidak merata, kebijakan dari pemerintah yang tidak adil dan cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu, juga dari sikap hidup mereka atau sekelompok masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya mereka seperti sikap malas, dan pasrah terhadap nasib.
Berdasarkan uraian di atas, kemiskinan yang terjadi pada masyarakat peisisr di kecamatan Mariso kelurahan Lette menjadi landasan utama serta titik tolak penulis sehingga tertarik untuk mengkaji dan meneliti tentang kemiskinan pada masyarakat nelayan dengan mengangkat judul sebagai berikut: ”Kemiskinan Nelayan (Studi Kasus pada Komunitas Nelayan di Kelurahan Lette Kecamatan Mariso Kota Makassar)”.
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan pokok-pokok pemikiran di atas, maka rumusan masalah yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.  Mengapa kemiskinan masih terjadi pada komunitas nelayan di kelurahan Lette kecamatan Mariso kota Makassar ?
2.  Bagaimana bentuk kemiskinan yang terjadi pada komunitas nelayan di kelurahan Lette kecamatan Mariso kota Makassar ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1.   Mengetahui dan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya masalah kemiskinan yang ditinjau dari perspektif kultur dan struktur pada komunitas nelayan di kelurahan Lette kecamatan Mariso kota Makassar.
2.    Mengetahui bentuk-bentuk kemiskinan yang ada pada komunitas nelayan di kelurahan Lette kecamatan Mariso kota Makassar.
D.  Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Manfaat Teoretis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan utamanya dalam pengembangan disiplin ilmu sosiologi yakni sosiologi maritim, sosiologi perkotaan dan perdesaan serta sosiologi pembangunan, mengenai konsep kemiskinan dan penyebab terjadinya kemiskinan ditinjau dari perpektif struktur dan kultur beserta bentuk kemiskinan yang dialami oleh masyarakat pesisir pantai wilayah perkotaan.
2.      Manfaat Praktis
1.  Sebagai bahan masukan bagi instansi-instansi yang terkait dan pemerhati masalah kemiskinan pada masyarakat nelayan.
2.  Dengan adanya data riil, dapat dijadikan sebagai parameter bagi pihak-pihak yang terkait utamanya dari pihak pemerintah kota Makassar dan pemerintah propinsi Sulawesi Selatan dalam memformulasikan kebijakan agar kedepannya, pengambilan kebijakan bisa lebih tepat pada sasaran.
3.  Sebagai khasanah bacaan mengenai karakteristik kehidupan masyarakat nelayan miskin, faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan serta bentuk-bentuk kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan.
4.      Sebagai bahan referensi (acuan) bagi peneliti lainnya yang berminat mengkaji lebih dalam lagi mengenai masalah yang sama serta dalam upaya pengembangan lebih lanjut.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pandangan Teoretis Mengenai Kemiskinan
Kemiskinan dan keterbelakangan merupakan fenomena sosial yang menjadi atribut di negara-negara dunia ketiga. Fenomena ini juga merupakan gambaran kebalikan dari kondisi yang dialami oleh negara-negara maju. Menurut Sumodiningrat (1989: 26), bahwa kemiskinan merupakan suatu problema yang bersifat multidimensional, dalam arti berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, politik dan aspek lainnya. Sedangkan Kartasasmita (1997: 24) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan.
Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang telah lama diperbincangkan karena berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan upaya penanganannya. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1993), miskin berarti tidak memiliki harta benda; serba kekurangan. Dengan demikian kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai (kebutuhan primer) seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini sangat berhubngan erat dengan kualitas hidup. Disamping itu, kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara.
Dalam membahas soal kemiskinan, diperlukan identifikasi apa sebenarnya yang dimaksud dengan miskin atau kemiskinan itu dan bagaimana mengukurnya. Oleh karena itu, pengkajian tentang kemiskinan harus dimulai dengan menentukan konsep tentang kemiskinan, karena perbedaan epistemologis akan menghasilkan keragaman metodologis sekaitan dengan identifikasi dan pengukuran kemiskinan.
Baulch (dalam Sajogyo, 1996: 65) menyatakan bahwa: Para sarjana dan pengambil kebijakan memberikan makna yang berbeda-beda tentang kemiskinan, perbedaan itu tercermin dalam perbedaan metodologi pengukuran, teknik penjelasan, strategi pengentasan, dan pada akhirnya, hasil evaluasi. Kalangan akademisi cenderung menggarisbawahi sifat multidimensi dari kemiskinan, dengan menafsirkan konsep kemiskinan sehubungan dengan berbagai macam “keadaan”, seperti “penderitaan”, “serba kekurangan”, “kelemahan”, “ketidakberdayaan”, “kerentanan”, dan sebagainya.
Di Indonesia, standar pengukuran kemiskinan digunakan konsep kemiskinan absolut dengan mengikuti standar Bank Dunia (world bank). Namun beberapa pendekatan atau tepatnya penyesuaian dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung batas miskin. Kajian utama didasarkan pada ukuran pendapatan (ukuran finansial), dimana batas kemiskinan dihitung dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimun makanan dan bukan makanan. Untuk kebutuhan makanan digunakan patokan 2.100 kalori perhari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Pengeluaran bukan makanan ini dibedakan antara perkotaan dan pedesaan. Pola ini telah dianut secara konsisten oleh BPS sejak tahun 1976. Sajogyo (1996: 27) menentukan garis kemiskinan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita maka yang digolongkan miskin adalah orang yang pengeluaran rumah tangganya sama dengan, atau di bawah 320 kg/orang/tahun untuk perdesaan, dan 480 kg/orang/tahun untuk perkotaan.
Harus kita akui, bahwa masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. Menurut penuturan Friedmann bahwa kemiskinan merupakan akibat dari ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial (dalam Alfian, 1980: 27). Penuturan dari Friedmann tersebut melukiskan bahwa pada dasarnya masalah kemiskinan adalah suatu ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai dalam memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas, oleh karena kurangnya akses maupun kesempatan dalam memperoleh pendapatan, sehingga pada akhirnya membuat lebih jauh dari standar kehidupan yang layak.
Sorjoeno Soekanto (2005), mengemukakan bahwa kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Lebih jauh lagi, sebab-sebab timbulnya masalah kemiskinan tersebut disebabkan oleh tidak berfungsinya salah satu lembaga kemasyarakatan dengan baik yaitu lembaga ekonomi. Soerjoeno Soekanto juga menjelaskan bahwa, pada masyarakat yang masih sederhana susunan organisasinya, mungkin saja kemiskinan bukan merupakan problema sosial sebab mereka menganggap semuanya sudah ditakdirkan sehingga pada akhirnya mereka harus pasrah tanpa ada usaha-usaha untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Sedangkan pada masyarakat yang modern dan kompleks kemiskinan, menjadi problema sosial, karena sikap membenci kemiskinan disebabkan kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih dari apa yang dimilikinya.
Dalam menganalisis kemiskinan sebagaimana yang dipaparkan di atas, dapat dilihat dari teori struktural fungsional. Teori struktural fungsional menjelaskan tentang bagaimana semua sistem dalam sebuah institusi sosial dapat bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing sehingga pada akhirnya dapat membentuk suatu struktur sosial yang seimbang (equilibrum). Dengan demikian, kemiskinan dalam suatu masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang wajar terjadi karena dengan adanya orang miskin maka dapat menjaga kestabilan kondisi pada keadaan yang seimbang dalam sebuah sistem sosial. Lebih jauh dari itu, dengan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh kaum miskin untuk mengakses hak-haknya di segala bidang dalam sebuah struktur, pada akhirnya membuat mereka tetap berada dalam kubangan kemiskinan.
Suparlan (1994: 18), mengungkapkan bahwa kemiskinan dinyatakan sebagai suatu keadaan kekurangan harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok orang itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhan-kebutuhan hidupnya sebagaimana layaknya. Kekurangmampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sosial (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah, kesehatan dan sebagainya).
Dengan kondisi serba kekurangan tersebut, kemiskinan pun terserap ke dalam dan mempengaruhi hampir keseluruhan dari aspek-aspek kehidupan manusia. Kemiskinan yang diderita oleh sekelompok orang bahkan sebuah masyarakat, menghasilkan suatu keadaan dimana warga masyarakat yang bersangkutan merasa tidak miskin bila berada dan hidup diantara sesamanya. Karena berbagai kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan para warga kelompok tersebut dirasakan sebagai suatu hal yang biasa (sebagai fenomena biasa dalam kehidupan keseharian mereka). Pada kondisi seperti itu, tidak ada yang diacu untuk dipamerkan, sehingga diantara mereka tidak ada perasaan saling berbeda, yang dapat menimbulkan perasaan malu. Dalam keadaan demikian, maka kemiskinan terwujud dalam berbagai cara-cara mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka untuk dapat hidup. Di kalangan masyarakat/kelompok yang berada dalam kondisi miskin seperti itu, berkembang suatu pedoman bagi kehidupan mereka yang diyakini kebenaran dan kegunaannya yang dilandasi oleh kemiskinan yang mereka derita bersama. Pedoman atau kiat-kiat untuk menghadapi fenomena miskin seperti itu kemudian melahirkan model-model adaptasi mereka menghadapi kemiskinan.
Pada dasarnya, kemiskinan berbeda dengan ketimpangan distribusi pendapatan (inequality). Perbedaan ini sangat perlu ditekankan dimana kemiskinan berkaitan erat dengan standar hidup yang absolut dari bagian masyarakat tertentu, sedangkan ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Pada tingkat ketimpangan yang maksimum, kekayaan dimiliki oleh satu orang saja dan tingkat kemiskinan sangat tinggi (Kuncoro, 1997: 26). Dari uraian tersebut, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum.
Menurut Friedmann (dalam Alfian, 1980: 28), untuk memahami lebih jauh persoalan kemiskinan ada baiknya memunculkan beberapa kosakata standar dalam kajian kemiskinan yaitu sebagai berikut: a. Poverty line (garis kemiskinan). Yaitu tingkat konsumsi rumah tangga minimum yang dapat diterima secara sosial. Ia biasanya dihitung berdasarkan income yang dua pertiganya digunakan untuk “keranjang pangan” yang dihitung oleh ahli statistik kesejahteraan sebagai persediaan kalori dan protein utama yang paling murah; b. Absolute and relative poverty (kemiskinan absolut dan relatif). Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang jatuh dibawah standar konsumsi minimum dan karenanya tergantung pada kebaikan (amal). Sedangkan relatif adalah kemiskinan yang eksis di atas garis kemiskinan absolut yang sering dianggap sebagai kesenjangan antara kelompok miskin dan kelompok non miskin berdasarkan income relatif; c. Deserving poor adalah kaum miskin yang mau peduli dengan harapan orang-orang non-miskin, bersih, bertanggungjawab, mau menerima pekerjaan apa saja demi memperoleh upah yang ditawarkan.
Friedmann (dalam Alfian, 1980: 29) merumuskan kemiskinan sebagai minimnya kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar itu dirumuskan sebagai berikut: a. Kebutuhan minimum dari suatu keluarga akan konsumsi privat (pangan, sandang, papan dan sebagainya); b. Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan untuk komunitas pada umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga listrik, angkutan umum, dan fasilitas kesehatan dan pendidikan); c. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka; d. Terpenuhinya tingkat absolut kebutuhan dasar dalam kerangka kerja yang lebih luas dari hak-hak dasar manusia; e. Penciptaan lapangan kerja (employment) baik sebagai alat maupun tujuan dari strategi kebutuhan dasar.
Berkaitan dengan hal di atas, dalam menelaah persoalan kemiskinan, menurut Sunyoto Usman (2004: 125) paling tidak ada tiga macam konsep kemiskinan yang dimunculkan yaitu sebagai berikut:
1.   Kemiskinan absolut adalah konsep kemiskinan dengan membuat ukuran tertentu yang konkrit, ukuran itu lazimnya berorientasi pada kebutuhan hidup dasar minimum anggota masyarakat.
2.  Kemiskinan relatif ialah konsep kemiskinan dengan memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Dasar asumsinya adalah kemiskinan di setiap waktu dan tempat berbeda-beda. Konsep kemiskinan semacam ini diukur berdasarkan pada derajat kelayakan hidup.
3.      Kemiskinan subyektif dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Dalam konsep ini seseorang yang dianggap berada pada garis kemiskinan justru tidak merasa miskin.
Secara umum, ada dua macam perspektif yang dipergunakan sebagai pendekatan dalam melihat masalah kemiskinan yaitu perspektif kultural dan perspektif struktural. Setiap perspektif tersebut memiliki acuan dan metodologi yang berbeda dalam menganalisis problema kemiskinan. Perspektif kultural mendekati masalah pada tingkat analisis individual, keluarga dan masyarakat sedangkan menurut perspektif struktural masalah kemiskinan dilihat sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mendahulukan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern.

B.     Kemiskinan dalam Perspektif Struktural
Penganut paham strukturalis umumnya menyatakan bahwa kemiskinan adalah struktur sosial yang tidak adil dan ulah kelas sosial yang berkuasa yang seringkali karena kekuasaan dan kekayaan yang dimiliknya itu kemudian mengeksploitasi masyarakat. Kemiskinan yang terjadi karena struktur yang tidak adil inilah yang selanjutnya disebut sebagai kemiskinan struktural. Jadi, masalah kemiskinan dilihat sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk-produk teknologi modern.
Perspektif struktural menurut Rahmat (1987: 27) adalah pandangan kaum radikal yang tidak mengubris soal culture of poverty. Mereka menekankan bahwa ketertinggalan yang terjadi karena bekerjanya struktur yang memiskinkan. Hal tersebut bila mengacu pada  teori-teori Marxis tentang eksploitasi dan alienasi, maka dapat ditarik suatu benang merah bahwa nelayan miskin bukan sepenuhnya disebabkan oleh ketidakmampuan dari pihak nelayan tersebut, melainkan orang-orang (nelayan) tersbut miskin, karena memang dilestarikan untuk miskin.
Negara yang melakukan tindakan represif melalui kebijakan pembangunan dengan membiarkan kemiskinan dan ketidakberdayaan warga yang berlarut-larut, berarti negara telah melakukan tindakan kekerasan secara sistematik. Secara faktual, negara masuk dalam perangkap kolonisasi pada rakyatnya, yakni lebih mengabdi pada pemilik modal dalam stelsel kapitalisme, tercermin dalam bentuk kebijakan dan regulasi yang berpihak pada komprador. Makin besar dan massifnya pembangunan maka makin membengkak korban-korban pembangunan itu sendiri. Jikalau kita saksikan radikalisasi dan fundamentalisme massa makin subur, semua itu karena diundang penguasa yang berwatak kapitalistik. Bermacam tindakan nekat warga, perlu dipahami sebagai bagian dari respon karena himpitan struktural yang tidak bisa ditahan lagi akibat dari represifnya pembangunan.
Berkaitan dengan hal di atas, kemiskinan mempunyai fungsi yang menunjang kepentingan kelompok dominan, ruling elites, atau kelas kapitalis. Diasumsikan oleh Friedman (dalam Alfian, 1980: 78) bahwa ketertinggalan terjadi karena berlangsungnya perampasan daya kemampuan terhadap masyarakat (nelayan). Perampasan daya ini berlangsung melalui ekspansi kapitalisme dan melalui praktek pembangunan (negara berkembang) pada struktur nasional dan lokal.
Selanjutnya, menurut Friedman (dalam Alfian, 1980: 79) terdapat tiga jenis daya kemampuan pada golongan tertinggal yang telah terampas yakni: (1) daya sosial, berupa akses pada basis produksi rumah tangga lahan, sumber keuangan, informasi, pengetahuan dan keterampilan, serta partisipasi dalam organisasi sosial; (2) daya politik, berupa akses individu dalam pengambilan keputusan, dalam menyuarakan aspirasi, dan bertindak secara kolektif; (3) daya psikologis, berupa kesadaran tentang potensi diri.
Secara teoretis, kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang di alami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber dari sistem, dan oleh karena itu penyebab dapat dicari pada ranah struktur sosial yang berlaku dimana mereka yang termasuk miskin tidak mampu memperbaiki hidupnya. Atau dengan kata lain mereka miskin karena dimiskinkan oleh struktur yang dalam hal ini berupa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh institusi. Sehingga, harus diakui bahwa dalam kemiskinan struktural memang ada suatu usaha untuk menciptakan jurang semakin lebar antara yang kaya dengan yang miskin, dimana yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Lebih jauh kemiskinan struktural, lanjut para pakar strukturalis, adalah kemiskinan yang timbul dari adanya korelasi struktur yang timpang, yang timbul dari tiadanya suatu hubungan yang simetris dan sebangun yang menempatkan manusia sebagai obyek. Kemiskinan struktural timbul karena adanya hegemoni dan justru karena adanya kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang berkuasa, sehingga justru orang yang termarjinalkan semakin termarjinalkan saja.
Dengan demikian, kemiskinan yang timbul, adalah karena persoalan ketimpangan struktur dalam masyarakat dimana hal tersebut dapat ditelusuri dengan menganalisis institusi yang ada pada masyarakat yang bersangkutan. Asumsi dasarnya adalah bahwa kemiskinan bukan saja bersumber dari kelemahan diri melainkan kemiskinan semacam ini merupakan konsekuensi dari pilihan-pilihan strategi pembangunan yang selama ini direncanakan terkait dengan peran strategis pemerintah dalam perencanaan dan implementasi pada pembangunan.
Menurut Selo Soemardjan (1980), kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakt itu sehingga mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk mereka.
Masalah kemiskinan struktural, bila dikaitkan dengan tipe solidaritas Durkheim, sesungguhnya muncul pada masa industrialisasi awal dimana terjadi peluruhan tipe solidaritas yang sebelumnya ada dalam masyarakat yaitu solidaritas mekanik yang bertransformasi menjadi solidaritas organik. Proses pentransformasian tersebut terjadi secara paksa, dimana perkembangan teknologi menuntut individu untuk merubah pola-pola solidaritas terdahulu menjadi lebih rasional secara materi dan otonomi individu dan heterogenitas sosial mendapat peluang yang lebih besar menjadikan kelompok-kelompok solidaritas terdahulu terfragmentasi (maksud dari rasional secara materi ialah tindakan individu diarahkan kepada pertimbangan untung rugi secara materi) dan melunturkan hubungan-hubungan kontraktual yang menjadi ciri khas solidaritas mekanik. Proses transformasi yang diwujudkan dalam pembagian kerja menuntut individu-individu untuk mempunyai keahlian dalam bidang yang spesifik yang memenuhi kualifikasi yang diberlakukan dalam pekerjaan tersebut. Namun, tidak semua individu dapat memenuhi kualifikasi tersebut. Individu-individu yang tidak lulus kualifikasi dalam kurun waktu tertentu memunculkan bentuk-bentuk struktur sosial yang baru sebagai reaksi dari proses penyisihan tersebut dan ketidakberdayaan mereka untuk mengakses sumber-sumber kesejahteraan yang mereka butuhkan.
Bentuk-bentuk struktur sosial yang baru tersebut digunakan untuk menunjang pemenuhan kebutuhan-kebutuhan para anggotanya. yang ada dalam golongan itu. Dalam hal ini, terjadi proses pembentukan nilai kolektif sebagai reaksi terhadap fakta sosial yang terjadi. Fakta sosial tersebut mengandung suatu bentuk atau pola dari cara bertindak, berfikir dan berperasaan dan memaksa individu. Nilai kolektif ini terbentuk karena pandangan-pandangan subyektif kaum yang tak lulus kualifikasi (kaum marginal) kemudian mendapatkan legitimasi secara sosial dari anggota kelompoknya. Pandangan-pandangan tersebut terkonstruksi menjadi pandangan hidup bersama. Masyarakat telah terkonsepsikan dalam dirinya bahwa mereka tidak akan atau sulit untuk bisa mempertahankan hidup dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya secara individualis. Kekalahan mereka dan ketidakberdayaan mereka dalam berkompetisi dengan individu lain yang dapat memenuhi kualifikasi menimbulkan sikap apatis, curiga dan merasa terdiskriminasikan terhadap mereka yang sukses. Perwujudan sikap apatis tersebut diwujudkan dengan keengganan mengintegrasikan diri mereka kedalam lembaga-lembaga utama dalam masyarakat. Dalam level individu, struktur pribadinya lemah dikarenakan terjadi pengikisan rasa optimis dengan mengkonsepsikan diri mereka sebagai seseorang yang tidak berharga, tidak berdaya, dan rendah diri, sehingga pada akhirnya individu-individu ini dihantui ancaman akan jatuh miskin.
Menyadari hal itu, mereka kemudian bergantung kepada struktur sosial yang telah terbentuk agar mereka terlindung dari jatuh miskin. Mereka mempunyai kekhawatiran yang mendalam apabila struktur sosial yang telah mapan dalam komunitas mereka mengalami perubahan. yang berarti, adanya perubahan tersebut dapat menimbulkan kemungkinan-kemungkinan terjadi ketidakstabilan dalam struktur yang dapat mengakibatkan mereka jatuh miskin. Maka, mereka sangat menjaga keteraturan dalam sistem dan tidak menginginkan adanya perubahan. Atau dengan kata lain, komunitas tersebut tidak bisa berkembang dan tetap tinggal statis.

C.    Kemiskinan dalam Perspektif Kultural
Penganut paham modernis sangat berbeda pemahamannya dengan penganut paham strukturalis, dimana mereka justru memandang masalah kemiskinan timbul atau berawal dari kelemahan diri yang dalam hal ini berupa keinginan untuk mau menerima hal-hal baru dan perubahan yang sedang terjadi dalam suatu keadaan tertentu termasuk rendahnya etos kerja atau dengan kata lain berada pada mentalitas yang terbangun baik dalam diri individu, keluarga dan masyarakat secara luas. Pada tingkat individual bisa dikatakan bahwa kemiskinan yang terjadi pada dirinya bersumber dari perasaan yang kuat akan kemarginalan seperti bersikap pasrah akan nasib, boros dan tidak mau bekerja keras. Kemudian pada tingkat keluarga, ditandai dengan jumlah keluarga yang relatif besar. Dan pada tingkat masyarakat ditunjukkan dengan tidak terintegrasinya individu-individu dalam masyarakat miskin dalam sebuah institusi-institusi sosial kemasyarakatan secara efektif sehingga sangat sulit terintegrasi dalam merubah nasib diri secara bersama-sama.
Perspektif kultural menurut Rahmat (1987: 24) adalah merupakan pandangan kaum konservatif. Kaum konservatif memandang kemiskinan tidak bermula dari struktur sosial tetapi berasal dari karakteristik khas orang-orang miskin itu sendiri.
Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan menekankan pada penyebab dari tingkah laku manusia yang kurang atau tidak mendukung pembangunan. Hal ini ditandai dengan sifat yang lazim disebut a strong feeling of marginality seperti: sikap parokial, apatisme, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior. Pendekatan kultural yang dipakai dalam menjelaskan masalah pembangunan kemudian dikenal dengan nama teori modernisasi (Lauer, 2003: 128) dengan penekanan pada: a. Teori modernisasi yang menggunakan pendekatan kultural menekankan peran dari aspek nonmaterial manusia, yakni ide, di mana dunia material dipengaruhi dan diubah melalui ide. Yang digarap adalah aspek kejiwaan dari manusia dan aspek nilai dari masyarakat. b. Teori modernisasi cenderung mencari sebab-sebab kegagalan pembangunan di negara-negara berkembang adalah mental dari penduduknya atau nilai-nilai dari masyarakatnya. Di samping itu, juga menularkan mental/sikap pribadi dan nilai masyarakat modern yang dibutuhkan demi keberhasilan pembangunan.
Inti dari pendekatan kultural ialah kesediaan untuk mempertimbangkan perubahan, suatu sikap yang mutlak berhubungan dengan individualisme dan rasionalisme. Salah satu pendekatan kultural ialah teori etos kerja, yang oleh Toffler (dalam Rahmat, 1987: 72) mengomentari bahwa: ethos which means both character and sentiment of the community - what we might call culture. Artinya etos itu bisa watak atau juga perasaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu. Jika kita membicarakan etos, maka senantiasa dikaitkan dengan masalah kebudayaan. Kebudayaan sendiri tidak hanya mencakup pola tingkah laku. Disisi lain, Kartodirdjo (1993: 172) menyatakan bahwa etos itu menunjuk kepada seluruh proses “pembiasaan” yang menghasilkan pola atau pelembagaan nilai dan terwujud sebagai sikap, watak, dan mentalitas. Selanjutnya, menurut Clifford Geertz (dalam Kartodirdjo, 1993: 173) mendefinisikan etos kerja sebagai suatu sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan dalam hidup. Jadi etos disini merupakan aspek evaluatif yang bersifat menilai, dalam hal ini dapat ditanyakan apakah kerja dapat dianggap sebagai suatu keharusan dalam hidup, ataukah sebagai sesuatu yang terikat pada identitas yang bersifat sakral.
Max Weber dalam bukunya Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme mengemukakan mengenai konsep Beruf (bahasa Jerman) sebagai suatu konsepsi agama tentang tugas yang ditentukan oleh Tuhan, suatu tugas hidup, dan suatu lapangan yang jelas dimana harus bekerja. Sehingga dengan demikian, bahwa dengan bekerja bukan saja dapat meningkatkan kualitas diri seseorang secara ekonomi maupun sosial tetapi, juga mampu mengangkat posisi individu di hadapan Tuhan. Pemikiran dari Weber tersebut, mencoba menjelaskan bahwa dengan semangat kerja yang tinggi sebagai perwujudan dari kultur dapat mengangkat seseorang ke posisi yang lebih terhormat baik secara vertikal maupun horizontal dimana kualitas hidup dari mereka senantiasa ditingkatkan sehingga pada akhirnya dapat menghindarkan diri dari kondisi miskin.

D.    Ciri-Ciri Masyarakat Miskin
Bila berbicara mengenai kemiskinan, kebanyakan dari kita akan berpikiran pada kondisi yang serba kekurangan dan akses yang terbatas dalam segala bidang. Hal tersebut tentunya adalah sebuah konklusi atas pandangan umum dari orang awam dalam menafsirkan kemiskinan itu sendiri.
Salim (1984: 42) menyatakan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki beberapa ciri-ciri sebagai berikut:
1.  Mereka pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah yang cukup, modal ataupun ketrampilan. Faktor produksi yang dimiliki sedikit sekali sehingga kemampuan memperoleh pendapatan menjadi sangat terbatas.
2.   Mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri. Pendapatan tidak cukup untuk memperoleh tanah garapan ataupun modal usaha. Sedangkan syarat tidak terpenuhi untuk memperoleh kredit perbankan, seperti adanya jaminan kredit dan lain-lain, sehingga mereka yang perlu kredit terpaksa berpaling kepada “lintah darat” yang biasanya meminta syarat pelunasan yang berat dan memungut bunga yang cukup tinggi.
3.   Tingkat pendidikan mereka rendah, tak sampai tamat sekolah dasar. Waktu mereka tersita habis untuk mencari nafkah sehingga tidak tersisa lagi untuk belajar. Juga anak-anak mereka tidak bisa menyelesaikan sekolah, karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan atau menjaga adik-adik di rumah, sehingga secara turun-temurun mereka terjerat dalam keterbelakangan di bawah garis kemiskinan ini.
4.    Kebanyakan mereka tinggal di pedesaan. Banyak diantara mereka yang tidak memiliki tanah, kalaupun ada maka kecil sekali Umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar pertanian. Karena pertanian bekerja dengan musiman, maka kesinambungan kerja kurang terjamin. Banyak diantara mereka lalu menjadi “pekerja bebas” (self employed) berusaha apa saja. Dalam keadaan penawaran tenaga kerja yang besar maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka di bawah garis kemiskinan.
5.     Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak punya ketrampilan (skill) atau pendidikan.
Selanjutnya, Suryawati (dalam Salim, 1984: 44) menyebutkan ciri-ciri kelompok (penduduk) atau masyarakat miskin adalah:
1.    Rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja dan keterampilan
2.      Mempunyai tingkat pendidikan yang rendah
3.   Kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja)
4.     Kebanyakan berada di pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area) dan
5.  Kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup) bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi dan kesejahteraan sosial lainnya.
Situmorang (dalam Salim, 1984: 45), mengemukakan ciri-ciri masyarakat miskin secara umum ditandai oleh ketidakberdayaan/ ketidakmampuan (powerlessness) dalam hal: a. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan; b. Melakukan kegiatan usaha produktif; c. Menjangkau akses sumber daya sosial ekonomi; d. Menentukan nasibnya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik; dan e. Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah.
Sementara itu, menurut Badan Pusat Statistik menyebutkan ciri-ciri masyarakat miskin kedalam 14 (empat belas) kriteria, yaitu: a. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang; b. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan; c. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplaster; d. Tidak memiliki fasilitas buang air  besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain; e. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik; f. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan minyak tanah; g. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari menggunakan kayu bakar/arang/minyak tanah; h. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu; i. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam satu tahun; j. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam satu hari; k. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas; l. Lapangan pekerjaan utama Kepala Rumah Tangga Petani dengan luas lahan 0,5 ha/buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000.- (enam ratus ribu rupiah); m. Pendidikan tertinggi Kepala Rumah Tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD; dan n. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal  Rp. 500.000,-.
Ciri-ciri kemiskinan berbeda antar wilayah, di mana perbedaan ini terkait pada kemiskinan sumber daya alam, sumber daya manusia dan kelembagaan setempat. Oleh karena adanya perbedaan tersebut, maka dalam upaya penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah perlu terlebih dahulu digali penyebab dan ciri-ciri dari kemiskinan masing-masing daerah, sehingga program yang diluncurkan bisa tepat sasaran.

E.     Faktor-Faktor Kemiskinan
Kemiskinan bukanlah suatu hal yang dikehendaki, akan tetapi lebih diakibatkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang menyebabkan orang terjebak ke dalam jurang kemiskinan, baik itu berupa faktor alamiah maupun faktor buatan manusia itu sendiri.
Tidak semua orang sependapat dalam memberi jawaban atas sebab dari kemiskinan. Secara umum banyak orang mengatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah karena kemalasan, gaya hidup boros tidak memikirkan masa depan, pasrah pada keadaan, tidak punya keinginan untuk hidup lebih baik dan berbagai sikap yang tidak bertanggung jawab lainnya.
Kemiskinan merupakan konsekuensi dari hidup yang penuh dengan persaingan, sehingga hanya yang kuatlah yang berhasil melepaskan diri dari kungkungan kemiskinan. Artinya mereka-mereka yang mempunyai akses terhadap modal, pengetahuan, penguasaan teknologi dan informasilah yang berhasil dalam persaingan tersebut.
Hardiman dan Midgley (dalam Kuncoro, 1997: 119) mengatakan bahwa kemiskinan massal yang terjadi di banyak negara yang baru saja merdeka setelah Perang Dunia ke II memfokuskan pada keterbelakangan dari perekonomian negara tersebut sebagai akar permasalahannya.
Selanjutnya, Sharp, et, al (dalam Kuncoro, 1997: 120) mengatakan penyebab kemiskinan bila diidentifikasikan berdasarkan sudut pandang ekonomi adalah: Pertama; secara mikro, kemiskinan muncul karena ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya, yang menimbulkan kontribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua; kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung adanya diskrimanasi. Ketiga; kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
Kartasasmita (1997) mengemukakan empat faktor penyebab kemiskinan. Faktor tersebut adalah sebagai berikut: a) rendahnya taraf pendidikan;  b) rendahnya taraf kesehatan; c) terbatasnya lapangan kerja; dan d) kondisi keterisolasian.
Asnawi (dalam Kusnadi, 2000: 47) menyatakan suatu keluarga menjadi miskin disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: a) Faktor sumber daya manusia; b) Faktor sumber daya alam; dan c). Faktor teknologi. Selanjutnya, Sigit (1993: 11) menjelaskan kesehatan yang baik, pendidikan dan ketrampilan yang tinggi akan dapat meningkatkan produktivitas dan selanjutnya akan dapat pula meningkatkan pendapatan. Selain itu tingkat pendapatan juga ditentukan oleh penguasaan aset produksi.
Sejalan dengan pendapat dari Sigit, Kusnadi (2000: 30) menjelaskan dalam hal tingkat pendidikan khususnya bagi nelayan tradisional, untuk bekal kerja mencari ikan di laut latar pendidikan seseorang nelayan memang tidak penting. Artinya karena pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, maka setinggi apapun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah memberikan pengaruh terhadap kecakapan mereka dalam melaut. Persoalan dari arti penting tingkat pendidikan ini biasanya baru mengedepan jika seorang nelayan ingin berpindah ke pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan pendidikan yang rendah, jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tradisional memilih atau memperoleh pekerjaan lain selain menjadi nelayan.
Berkaitan dengan penguasaan ketrampilan alternatif yang dimiliki oleh nelayan, Sudarso (2008: 7) menyatakan, bahwa: akibat tidak memiliki keterampilan yang memadai juga karena tidak dimilikinya aset produksi yang cukup, maka upaya untuk mencari pekerjaan baru bagi seorang nelayan tradisional yang miskin jelas bukan hal yang mudah dilakukan. Selanjutnya, Salim (1984: 40) menyatakan bahwa kemiskinan tersebut melekat atas diri penduduk miskin, mereka miskin karena tidak memiliki aset produksi dan kemampuan untuk meningkatkan produktivitas. Mereka tidak memiliki aset produksi karena mereka miskin, akibatnya mereka terjerat dalam lingkaran kemiskinan tanpa ujung dan pangkalnya.
Secara konkrit Hadiwageno dan Pakpahan (dalam Salim, 1984: 45), berpendapat bahwa kemiskinan pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: a) sumber daya alam yang rendah; b) teknologi dan unsur pendukung yang rendah; c) sumber daya manusia yang rendah; dan d) sarana dan prasarana termasuk kelembagaan yang belum baik. Sedangkan bagi masyarakat pasisir, para pakar ekonomi sumber daya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumber daya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat sehingga nelayan tetap berada dalam kemiskinan.
Subade dan Abdullah (dalam Bengen, 2001: 18) mengajukan argumen lain yaitu bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.
Panayotou (dalam Bengen, 2001: 18), mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (dalam Bengen, 2001: 18) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.

F.     Definisi Nelayan
Kemiskinan adalah salah satu masalah sosial yang amat serius dan tumbuh disetiap dimensi serta sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Tak terkecuali di kota Makassar, permasalahan kemiskinan masih dapat dijumpai utamanya pada komunitas marginal kota yang dalam hal ini adalah komunitas nelayan.
Nelayan adalah suatu komunitas yang mana mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan, baik di laut, selat, teluk, danau maupun sungai dengan menggunakan perahu atau kapal dan berburu atau menggunakan perangkap. Mereka umumnya tinggal atau menetap di daerah pesisir pantai dan membentuk suatu komunitas yang disebut dengan komunitas nelayan. Mereka adalah orang-orang yang begitu gigih dan akrab dengan kehidupan di laut yang sifatnya keras. Pengetahuan tradisionalnya tentang ekologi kelautan, merupakan bagian dari kehidupan mereka yang sifatnya turun temurun. Para nelayan ini sangat percaya betapa pun kuatnya tantangan itu, laut tetap menawarkan berbagai kemungkinan serta memberikan peluang dalam mencari nafkah untuk memperolehnya dan mereka berjuang dengan penuh keyakinan, keuletan dan ketabahan serta penggunaan teknologi yang sederhana.
Menurut Gordon (dalam Satria, 2002) bahwa nelayan adalah orang yang melakukan penangkap ikan baik di perairan laut atau pun di perairan umum dengan menggunakan seperangkat alat tangkap ikan. Nelayan sering didefinisikan sebagai orang yang melakukan kegiatan penangkap ikan di laut. Definisi ini dibuat untuk konteks masyarakat tradisional. Ketika perikanan sudah mengalami berbagai perkembangan, pelaku-pelaku dalam penangkapan ikan semakin beragam statusnya.
Secara sosiologis, fenomena ini merupakan konsekuensi dari adanya differensisasi sosial yang salah satunya berupa pembagian kerja atau divission of labour. Satria (2002) mengatakan bahwa nelayan dapat kita bagi menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap lainnya. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut.
Direktoral Jenderal Perikanan (2002), mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/ binatang air lainnya/ tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau mengangkat alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/ kapal tidak dikategorikan sebagai nelayan. Sementara itu, ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap disebut juga sebagai nelayan meskipun tidak secara langsung melakukan penangkapan ikan. Sama dengan penangkapan ikan pada pembudidayaan, orang yang disebut sebagai petani adalah orang yang melakukan pekerjaan pemeliharaan ikan sebagai anggota rumah tangga maupun buruh/tenaga kerja.

G.      Bentuk-Bentuk Kemiskinan.
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti halnya kemiskinan yang terjadi pada komunitas nelayan di kelurahan Lette kecamatan Mariso kota Makassar, bahwa penyebab kemiskinan mereka dapat dilihat dari sudut pandang perspektif kultural dan perspektif struktural.
Atas penjelasan yang telah dikemukakan di atas tadi, maka kemiskinan pada komunitas nelayan di kelurahan Lette dalam perspektif kultural disebabkan oleh dua faktor yaitu : (i) Pasrah terhadap nasib (fatalis) dan (ii) Gaya hidup yang konsumtif. Kemudian penyebab miskin yang kedua, dapat di tilik secara struktural yaitu sebagai berikut : (i) Adanya ketidakseimbangan akses ekonomi yang mana dalam hal ini berupa terjadinya hubungan kerja yang bersifat eksploitatif dan sistem bagi hasil yang tidak adil. (ii) Peranan lembaga pemasaran yang kurang maksimal. Jadi, berdasarkan hal tersebut maka bentuk kemiskinan dalam penelitian ini bila dilihat dari bentuknya dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural.
Bentuk kemiskinan yang pertama adalah kemiskinan kultural. Kemiskinan ini adalah kemiskinan yang mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka atau nelayan dalam hal ini merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya dan berkibat pada rendahnya tingkat pendapatan.

Senada dengan Narwoko, Selo Soemardjan (1980) juga berpendapat demikian bahwa penyebab terjadinya kemiskinan struktural oleh karena adanya stuktur sosial yang timpang dan berlaku dalam suatu masyarakat sehingga mereka yang termasuk ke dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasib dan tidak mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun temurun selama bertahunn-tahun. Sejalan dengan itu, mereka hanya mungkin keluar dari penjara kemelaratan melalui suatu proses perubahan struktur yang mendasar.
Landasan-landasan teoretis dalam membedah masalah kemiskinan di atas, relevan dengan fakta yang ditemukan di lokasi penelitian dimana penyebab kemiskinan secara struktural berpangkal dari dua jalur. Pertama faktor ketidakseimbangan akses ekonomi berupa terjadinya hubungan kerja yang bersifat eksploitatif dan sistem bagi hasil yang tidak adil. Seperti yang telah disinggung di muka, sistem bagi hasil tangkapan sangat menguntungkan pemilik modal dan sebaliknya merugikan nelayan pekerja. Kesenjangan pendapatan antara pemilik modal dengan nelayan pekerja karena biaya operasional ditanggung seluruhnya oleh nelayan pekerja. Bisa dibayangkan, bila kemudian dalam relasi yang asimetris ini atau tidak seimbang maka nelayan pekerja selalu tertinggal dalam mengakumulasi kesejahteraan ekonomi sehingga hidupnya sepanjang waktu dalam posisi miskin. Dan ironisnya, ketika tiba musim ikan maka secara otomatis intensitas operasi penangkapan pun ikut meningkat untuk memperoleh hasil tangkapan.
Dalam kaitannya dengan eksploitasi dan sistem bagi hasil yang tidak adil tentu akan membuat nelayan kecil hanya ”berjalan di tempat”. Padahal pada tataran ideal, ketika sistem bagi hasil itu dilakukan secara adil, maka tingkat penghasilan nelayan pekerja saat musim ikan dapat dijadikan sebagai bekal ketika memasuki bulan-bulan musim kemarau dimana pada musim ini tingkat penghasilan sangat minim dan sering tidak memperoleh hasil tangkapan sama sekali (masa paceklik). Musim sepi hasil tangkapan akan berlangsung sekitar delapan bulan dan akumulasi simpanan penghasilan yang diperoleh selama musim ikan, tidak akan pernah mencukupi untuk mengatasi kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari rumah tangga nelayan pekerja. Sebagai jalan keluar untuk melalui musim paceklik tersebut maka, tidak sedikit nelayan pekerja yang harus berhutang kepada toke atau nelayan pemilik modal. Dan bila demikian, maka ketergantungan akan terus berlanjut dan secara struktural, keadaan itu akan membuat nelayan kecil tetap berada pada jeruji kemiskinan (kelas subordinat).
Selanjutnya faktor kedua yaitu peranan lembaga koperasi yang kurang optimal dalam mendukung nelayan kecil untuk bisa keluar atau minimal berkurang beban hidupnya. Sesuai data primer yang didapat di lapangan, bahwa koperasi nelayan yang hanya berjumlah 1 unit dan terletak di jalan Rajawali ternyata juga belum mampu membawa nelayan kecil keluar dari lingkaran kemiskinan. Peranan lembaga tersebut dalam hemat penulis pada tataran yang ideal harusnya bisa menjadi wadah bagi nelayan kecil agar tidak terlalu berat menanggung beban hidup utamanya di saat musim paceklik tiba. Dengan kata lain, ketika lembaga ini bisa berperan secara optimal maka di saat musim paceklik tiba akumulasi dari modal yang didapatkan dapat dijadikan sebagi modal misalnya untuk berusaha atau berdagang sebagai pekerjaan alternatif.
Akan tetapi, kondisi objektif di lapangan ternyata tidak demikian dimana lembaga tersebut hingga kini hanya melayani kegiatan simpan pinjam dana. Padahal di awal terbentuknya lembaga ini, kegiatan yang dilakukan tidak hanya sebatas pada kegiatan simpan pinjam namun juga pada wilayah pemasaran hasil tangkapan ikan dari nelayan kecil melalui usaha-usaha yang proaktif dan kreatif.
Olehnya itu, tidak lah mengherankan ketika tiba musim paceklik, nelayan kecil masih saja terjebak dalam pusaran utang dengan bunga yang tinggi. Sedangkan pada musim panen, penghasilan habis untuk membayar utang dan hasil tangkapan juga tidak menggembirakan (walaupun tangkapannya banyak) karena dibeli dengan harga murah. Fakta inilah yang menyebabkan sepanjang tahun kehidupan nelayan pekerja sangat mengenaskan karena ditikam oleh kekuatan dari segala penjuru yang menyudutkan posisi mereka.







BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.  Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan penelitian adalah sebagai berikut:
1.  Masalah kemiskinan yang terjadi pada komunitas nelayan di kelurahan Lette kecamatan Mariso kota Makassar disebabkan oleh faktor kultur berupa sikap hidup yang pasrah terhadap nasib (fatalis) serta pola hidup yang konsumtif. Kemudian faktor struktur berupa adanya ketidakseimbangan akses ekonomi dan kurang optimalnya peranan dari lembaga ekonomi.
2.   Bentuk kemiskinan yang terjadi pada nelayan di kelurahan Lette dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori  yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural.

B. Saran-saran
Dalam rangka mengatasi permasalahan kemiskinan yang terjadi pada komunitas nelayan di kelurahan Lette kecamatan Mariso kota Makassar maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.  Pemerintah dalam melihat persoalan kemiskinan nelayan di kelurahan Lette kecamatan Mariso kota Makassar, harus memperhatikan perspektif aspek aktor/pelaku kemiskinan. Artinya pemerintah tidak melihat nelayan hanya sebagai korban kemiskinan yang pasif, tetapi nelayan utamanya nelayan kecil adalah orang-orang yang memiliki suatu kemampuan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi kehidupannya dan lebih banyak memberikan keterjangkauan mereka akan sumber daya yang tersedia di lingkungan nelayan itu sendiri (acsess to resources).
2.  Sebagai langkah awal yang harus dilakukan oleh pemerintah kota dalam memberikan keterjangkauan nelayan kecil dalam mengakses sumberdaya yang tersedia kepada nelayan perlu diberikannya hal-hal yang bersifat inovatif yakni memberikan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan keterampilan. Di mana upaya-upaya ini tidak hanya diberikan kepada nelayan saja, tetapi juga dilakukan terhadap keluarga nelayan (istri dan anak), karena mereka merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang pendapatan keluarga nelayan.





















2